Saturday, May 19, 2007

(Another one of) My Best Friends Wedding

Bulan ini, sampai hari ini tiga orang lagi sahabatku mengumumkan untuk mengikatkan dirinya dalam pernikahan. Tentu saja mereka tidak mau menunda pernikahannya sampai aku pulang…

Jadi ingat…beberapa tahun yang lalu ketika ada yang tanya kapan aku berencana untuk menikah, aku dengan PD-nya menjawab 25. Ternyata, sekarang di usia 26 aku belum apa-apa, nggak ada persiapan, bahkan calonnya pun ngga ada. Semakin banyak wawasan dan pemikiran, semakin banyak pertimbangan. Ya itu tadi, pengalaman hasil pekerjaan sehari-hari, teori-teori tentang feminisme kesetaraan dan perjuangan melawan patriarki yang mendarah daging mau tidak mau membuatku jadi lebih banyak pertimbangan dalam mengevaluasi hidupku termasuk hubungan-hubunganku. Jadi ingat juga..dulu waktu aku memutuskan untuk melamar kerja di LSM perempuan, seorang teman (laki-laki) berkata dengan agak sinis “nanti kamu jadi feminis, nggak mau kawin..” (waktu itu aku belum mengerti betul feminis artinya apa jadi tidak bisa menyanggah, hanya senyum-senyum saja). Tidak, saat ini aku berani mengatakan aku tidak anti perkawinan, tidak juga fobia terhadap perkawinan, tapi bahwa saat ini itu masih jadi hal gelap buatku, iya.

Seorang perempuan, entah mengapa sepertinya dianggap nggak lengkap dan kurang beres ketika tetap single ketika mencapai usia tertentu. Ada seorang teman laki-laki yang begitu giatnya berusaha mencarikan “jalan” untuk teman-teman perempuannya yang masih single. Kadang menyebalkan juga jika berhadapan dengan orang-orang (terutama laki-laki) yang menganggap semua perempuan yang single adalah dalam posisi “available” dan “sedang mencari”.

Seorang perempuan, ketika datang sendirian ke suatu acara (terutama pesta pernikahan), dia akan ditanya, “kok sendirian?”, kalau dia datang dengan lawan jenis biasanya pertanyaannya menjadi “kapan menyusul?”. (Padahal ketika sudah menikah pun, ia tetap akan ditanya “kapan mau punya anak?”, kalau anaknya sudah dewasa, “kapan anaknya menikah?”). Saking sebalnya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, seorang sahabatku pernah berikrar, dia tidak akan datang ke pernikahan sebelum ia sendiri menikah, kecuali jika yang menikah adalah sahabat dekatnya.

Seorang teman juga sebut saja F, dengan lantang mengatakan bahwa ia tidak pernah, dan tidak akan pernah datang ke pernikahan. Konon ini disebabkan karena ia meyakini bahwa pernikahan (heteroseksual) adalah institusionalisasi kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga dan poigami adalah contoh yang paling nyata. Ekstrim juga sih…tapi bukankah memang kecenderungannya begitu di masyarakat kita saat ini? Perkawinan bagaikan peti Pandora seperti dalam dongeng yang jika dibuka akan menimbulkan banyak persoalan dan kesusahan, khususnya bagi perempuan, di luar sisi-sisi baiknya tentu saja.

Sejak upacara pernikahan, perempuan ditempatkan sebagai pelayan suami, bisa dilihat dari upacara adat dimana suami akan menginjak telur ayam dan si istri harus membersihkan kakinya (untuk hal ini bahkan temanku yang sudah sangat fasih bicara soal gender masih nggak berkutik ketika diharuskan melakukan ini saat menikah). Kemudian dalam khotbah nikah yang standard, selalu yang diketengahkan adalah konsep “istri soleha”, kewajiban istri untuk selalu menyenangkan dan melayani suami, tidak boleh melawan, menjadi ibu yang baik untuk anak-anak dan sebagainya.

Perempuan yang menikah, mengalami pengaburan identitasnya sebagai pribadi, disebut sebagai istri suaminya, ibu dari anaknya. Filsuf feminis Gadis Arivia sering mengulas masalah ini dalam berbagai forum, bagaimana gigihnya ia memperjuangkan agar perempuan dihargai sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai pelengkap dari makhluk lain, yang biasanya berjenis kelamin laki-laki.

Perempuan, istri karena kondisinya yang dalam budaya patriarki dipandang subordinat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Jumlahnya begitu banyaknya sampai dalam setahun kantorku yang hanya lingkup Jabodetabek saja menerima lebih dari 4oo kasus di tahun 2006. Itu saja bisa dibayangkan, berapa banyak sih orang yang tahu kantorku?

Sahabat-sahabatku yang telah menikah itu, telah mengambil langkah besar dalam hidupnya. Tidak hanya soal pernikahannya, tapi juga apa yang menjadi eksesnya. Misalnya yang paling gampang, seorang sahabatku memilih menemani suaminya untuk berkumpul dengan teman-teman suaminya daripada menemui sahabat-sahabat dekatnya yang sudah lama nggak ketemu (jujur hal ini membuatku patah hati juga). Seorang teman merelakan mimpinya untuk kuliah di luar negeri demi tidak meninggalkan suaminya tercinta. Teman yang lain merelakan suaminya untuk lebih dulu ikut pendidikan karena mereka tidak mampu membayar untuk mereka berdua suami istri. Tiga temanku meninggalkan pekerjaannya yang cukup baik di sebuah lawfirm, perusahaan multinasional dan kantor notaris demi lebih fokus mengurus anak. Temanku yang lain meninggalkan karirnya yang sedang menanjak di Jakarta demi mengikuti suaminya yang bertugas di daerah, dan kemudian menjadi full time housewife.

Seorang perempuan yang sangat kukagumi kecerdasan dan kiprahnya meninggalkan karirnya di kepolisian ketika suaminya naik pangkat, menjadi kepala di suatu unit tertentu. Ternyata hal ini sudah jadi hukum tidak tertulis di kepolisian (dan aku pikir di tentara juga) bahwa jika suami istri bekerja di kepolisian dan suaminya mencapai jabatan tertentu, istrinya diharapkan (diharuskan sebenarnya) mengundurkan diri karena harus menjadi ketua Bhayangkari, organisasi bagi istri-istri polisi di unit yang dipimpin suaminya tersebut. Meskipun mereka begitu lantang menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di berbagai forum, tetap saja mereka tidak berkutik dengan kewajiban tersebut. Tragis.

Minggu lalu aku membaca sebuah artikel tentang Michelle Obama, istri Barack Obama yang semoga saja bisa jadi Presiden kulit hitam pertama di AS. Seorang wanita yang cerdas, termasuk satu diantara sangat jarang perempuan kulit hitam yang bisa kuliah di Princeton University, punya karir yang sangat baik. Tapi jika nantinya ia akan jadi ibu Negara, tentunya dia diharapkan melepaskan semua itu, dan memulai aktivitas seperti ibu ketua darma wanita pada umumnya. Hal ini menjadi dilema untuknya karena semenjak dewasa dia tidak pernah menganggur. Dia mengakui bahwa sejak dia melahirkan anak pertamanya beberapa tahun yang lalu, ia telah mengalami perdebatan dalam dirinya, mempertanyakan apakah ia menjadi orangtua yang baik bagi anaknya, apakah dia harus berdiam di rumah, apakah dia dapat bertahan berdiam di rumah,bagaimana menyeimbangkan antara karir dan keluarga dan sebagainya. Apalagi nanti jika ia menjadi ibu negara, dimana dia akan dibebani dengan berbagai peran seremonial sebagai pendamping sang kepala negara. Padahal, ketika Indonesia punya Presiden perempuan, tidak ada yang mewajibkan suaminya untuk menghentikan aktivitasnya untuk mendampingi ibu Presiden kemana-mana.

Mereka, perempuan-perempuan yang cerdas dan potensial menenggelamkan dirinya menjadi sekedar Nyonya B (nama suaminya) dan mamanya C. Tapi tentu saja, itu pilihan mereka. Aku tidak bisa menjudge mereka sebagai orang yang tertindas, karena mungkin saja mereka dengan sangat sadar, ikhlas mengambil pilihan tersebut. Akan tetapi, apakah mereka sempat berpikir bahwa mereka punya pilihan? Apakah suaminya memberikan pilihan? Apakah hal-hal tersebut sudah mereka bicarakan sebelum mereka memutuskan untuk membina rumah tangga? Apakah dalam memutuskan hal tersebut mereka dalam kondisi yang setara dengan suaminya? Pun, jika suami mereka memberikan pilihan, apakah keluarga dan masyarakat mendukung pilihan mereka tersebut? Kenyataannya memang masyarakat masih sangat patriarkis, dan itu juga yang membuat masih banyak perempuan yang tak berdaya melawan.

Kesetaraan dalam rumah tangga sepertinya masih jadi mimpi untuk banyak perempuan. Perempuan yang memilih untuk bekerja, baik sebagai ekspresi dirinya maupun kerena tuntutan ekonomi keluarga (defaultnya tetap suami yang bekerja sebagai pencari nafkah utama) masih harus mengalami beban ganda. Tanggungjawab terhadap kelangsungan rumah tangga dan anak-anak tetap ditimpakan pada istri. Suami selingkuh, poligami, atau melakukan kekerasan istrinya juga yang disalahkan “kamu sih kerja terus, suamimu kan merasa diabaikan”, “kamu sih terlalu sibuk nggak ngurus diri sendiri sampai suamimu berpaling” (kalau yang ini aku ingat sekali pernah dikatakan oleh seorang jaksa perempuan yang menangani salah satu kasus KDRT yang aku dampingi). Begitu juga kalau sampai ada apa-apa dengan anaknya, nilai raportnya jelek, ketahuan menggunakan narkoba dan sebagainya, ibunya juga yang akan disalahkan. Hal ini juga dilanggengkan lewat berbagai media, dimana soal mendidik anak masih masuk dalam segmen “perempuan”. Padahal, tanggungjawab itu seharusnya dipikul bersama, menikah nya juga sama-sama, menghasilkan anak juga sama-sama.

Yang harus dicerahkan memang bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki dan seluruh masyarakat.

Aku pernah terlibat pembicaraan dengan seorang teman yang memiliki ide membentuk “wedding organizer berperspektif gender” yang sudah pernah beberapa kali dipraktekkan. Hal ini berawal dari kegeraman menyaksikan ritual perkawinan yang sangat konservatif, patriarkis dengan segala dogma klasik tentang peran suami istri. Ide yang sangat bagus menurutku. Misalnya, dari undangan dan sebagainya mulai diperkenalkan ayat-ayat tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, yang juga dengan konsisten kemudian dikuatkan ketika ceramah perkawinan dan segala aspek dari acara tersebut. Memang bukan solusi, tapi sebagai salah satu dari banyak jalan. Menarik juga mendengar bahwa ada pejabat KUA yang ketika menikahkan memberitahukan bahwa sekarang sudah ada UU PKDRT sehingga tidak boleh ada lagi kekerasan dalam rumah tangga. Tapi masalahnya memang masih sangat panjang perjalanan untuk membuat masyarakat mengerti bahwa kekerasan itu bukan cuma yang bersifat fisik, tapi juga seksual, psikis dan ekonomi.

Sunday, May 13, 2007

Adam and Steve, Wati dan Tini

“It’s Adam and Eve, not Adam and Steve!” aku selalu ingat kalimat itu dari adegan film Philadelphia, ucapan seorang demonstran kepada tokoh Andrew Beckett, orang dengan HIV/AIDS yang homoseksual ketika ia baru keluar dari pengadilan menggugat pemecatan yang dilakukan oleh bosnya. Adegan itu adalah gambaran kebencian masyarakat terhadap kaum homoseksual, yang sedikit banyak membuat tokoh yang diperankan Tom Hanks itu dianggap sedikit banyak layak untuk menderita penyakit mematikan tersebut.

Dan ternyata mungkin kalimat ini juga yang menginspirasi pembuat film ketika tahun kemarin beredar film berjudul “Adam and Steve”, yang benar, bercerita tentang pasangan gay yang akhirnya menikah.
Di Indonesia, beberapa tahun yang lalu ada kabar di Sulawesi entah kota apa, ada beberapa pasangan lesbian yang hidup bersama dilaporkan oleh warga sekitar ke kantor polisi karena dianggap meresahkan. Dikhawatirkan mereka akan memberikan pengaruh buruk bagi anak-anak di lingkungan tersebut. Mereka memang tidak dihukum, tapi hanya diberi “pengarahan”. Saat itu aku cuma bisa bersyukur, karena kemungkinan terburuknya bisa aja mereka diarak bugil atau dibakar karena dianggap penyakit masyarakat.

Ada kasus juga dimana seorang lesbian dilaporkan melakukan “statutory rape” karena pasangannya adalah seorang perempuan di bawah umur.

Awal tahun ini seorang teman di Aceh mengalami hal yang sangat mengerikan dan traumatis ketika digrebek masyarakat di kamar kost ketika bersama pasangan gay nya. Dia dan pasangannya mengalami penyiksaan, pelecehan seksual dan perendahan martabat dan harga diri yang luar biasa dari polisi setempat. (Selengkapnya bisa dilihat di website nya Arus Pelangi). Saat ini polisi-polisi tersebut konon sudah diproses disiplin di dinasnya. Semoga saja proses pendisiplinan itu tidak mengaburkan akar permasalahannya, yaitu kebencian dan diskriminasi terhadap LGBT, yang dilakukan atas nama penegakan moral dan syariah.

Televisi juga ikut menyebarkan kebencian pada homoseksual. Pernah ada tayangan televisi dengan judul “Azab Homoseksual” menceritakan pasangan gay yang mengalami penyakit mengerikan sebagai akibat dari perilaku seksualnya.

Ada teman yang pernah bilang kalo homoseksual itu menular, jadi kalau kita bergaul dekat dengan orang yang homoseksual lama-lama kita akan jadi homoseksual juga. Mungkin inilah sumber ketakutan masyarakat terhadap homoseksualitas. Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat menceritakan ketakutan temannya (laki-laki) setelah berkenalan dengan seorang openly gay yang secara spontan mau memeluk dan mencium pipi kiri dan kanannya, yang kalau menurut orang itu tindakan biasa saja. Ketakutan tersebut kemudian berlanjut ketika kemudian teman yang gay ini terkesan berniat mengenal lebih jauh.

Di lain pihak, kelompok homoseksual yang biasanya menggabungkan diri dengan sebutan LGBT - terdiri dari kaum Gay, Lesbian, Biseksual dan Transgender (kadang juga disebut transvestite, waria atau riawan), sekarang tambah IQ (Interseks dan Queer) saat ini mulai menunjukkan perjuangan untuk memperoleh pengakuan. Kelompok ini masuk dalam salah satu dari 12 kelompok khusus yang rentan diskriminasi di Komnas HAM. Sudah ada beberapa lembaga yang secara terbuka menyatakan bergerak dalam pendampingan atau pengorganisasian bagi mereka. Sedikit banyak, ini juga yang mempengaruhi semakin banyaknya kaum homoseksual yang menjadi terbuka dengan orientasi seksualnya dan berjuang bersama komunitasnya.

Para pegiat HAM saat ini berusaha melakukan judicial review untuk UU Administrasi Kependudukan yang baru disahkan, yang seharusnya bisa menjadi harapan bagi kaum LGBT untuk mendapatkan pengakuan. Wacana tentang perkawinan sejenis sudah mulai diperkenalkan, meski aku sangat yakin masih akan sangat lama sampai bisa dilegalkan, karena saat ini pernikahan antar agama saja masih diributkan dan nggak selesai setelah diperdebatkan puluhan tahun. Amandemen undang-undang perkawinan juga entah kapan bisa dibahas di DPR. Aktivis juga mengadvokasinya lewat RUU Pencatatan Sipil yang entah kapan selesainya. Kasihan juga, hidup bersama tanpa nikah nggak boleh, nikah juga nggak boleh. Sepertinya sudah banyak pasangan homoseksual yang menikah di luar negeri. Ada juga yang menikah di Indonesia dengan cara yang agak “purba”, hanya menyatakan komitmen satu sama lain dengan disaksikan oleh masyarakat hukum adatnya, teman-teman komunitas sesama homoseksual. Tidak ada perlindungan dan ikatan hukum. Padahal, suatu pernikahan, terlepas dari tercatat, legal atau tidak, merupakan suatu perikatan dalam hukum keluarga yang pasti akan menimbulkan akibat. Akan tetap ada permasalahan harta bersama, akan ada masalah pengasuhan anak (jika kemudian mereka punya anak-banyak pasangan homoseksual terutama di luar negeri yang mengadopsi anak atau ikut program bayi tabung), waris dan wasiat ketika salah satu pihak meninggal dunia... Belum lagi kalau ada permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pasangan. Kasus KDRT ini konon banyak dialami oleh pasangan homoseksual terutama lesbian, akan tetapi tidak ada perlindungan hukumnya. Pun ketika ada seorang lesbian yang mengadukan kekerasan yang dilakukan pasangannya, pihak aparat penegak hukum masih akan dengan perspektif moralnya sendiri menyalahkan si korban kenapa bisa jadi homoseksual.

Aku pernah diajak diskusi oleh beberapa teman yang membuat draf perjanjian “domestic partnership” untuk pasangan homoseksual yang akan menikah, untuk sedikit banyak melindungi para pihak yang mengikatkan diri. Dilematis juga, karena di satu pihak ada asas “kebebasan berkontrak”, di pihak lain ada juga syarat perjanjian adanya “sebab yang halal”, yang sayangnya pernikahan ataupun yang mereka sebut “domestic partnership” tersebut masih merupakan hal yang tidak halal di mata hukum Indonesia. Akhirnya kemungkinan terburuk ya itu hanya akan menjadi seperti hukum adat, keberlakuannya sangat tergantung oleh komitmen para pihaknya dan penegakan hukumnya hanya bisa dilakukan oleh masyarakat hukum adatnya, komunitas nya, yang hanya akan berupa sanksi sosial kepada yang melanggar. Kalau di Philipine seorang temanku yang aktivis lesbian bilang perkawinan homoseksual tidak diperbolehkan akan tetapi mereka bisa mencatatkan “domestic partnership” atau "civil union" di catatan sipil.

Di Indonesia juga sempat beredar film “Detik Terakhir” yang kontroversial dan menuai protes, tapi akhirnya menganugrahkan piala citra bagi Cornelia Agatha, yang berperan sebagai pecandu narkoba yang lesbian. Bersyukur juga film tersebut tidak dicabut dari peredaran seperti BCG, mungkin karena didukung Badan Narkotika Nasional sebagai bagian dari usaha pemberantasan narkoba. Film itu, setahuku adalah film Indonesia pertama yang menampilkan homoseksualitas (lesbian) secara terbuka dengan sudut pandang yang tidak negatif.

Di dunia internasional, bulan Maret lalu di tengah sidang Dewan HAM PBB diadakan peluncuran “The Yogyakarta Principles on Sexual Orientation and Gender Identity” (YP). Disebut begitu karena YP ini adalah hasil dari sebuah high level expert meeting yang diadakan di Yogyakarta tahun kemarin, melibatkan ahli hukum internasional dari berbagai Negara dan pakar soal LGBT. YP ini memuat prinsip-prinsip dasar tentang hak dan pedoman untuk perlindungan HAM berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender, dengan harapan ke depannya YP ini bisa berkembang menjadi suatu deklarasi atau kovenan internasional, atau setidaknya menjadi acuan bagi pembuat kebijakan dalam hal berkaitan dengan LGBT. Ternyata, organizer dari YP ini adalah dua organisasi dimana aku magang saat ini di Geneva, ISHR dan ICJ.

Implementasinya pasti nggak akan mudah, karena sampai saat ini homoseksual memang masih jadi deviant di masyarakat. Anggapan mainstream adalah bahwa manusia defaultnya adalah heteroseksual seperti dicontohkan oleh Adam dan Hawa (Eve), kalau ada yang jadi homoseksual atau biseksual itu adalah penyimpangan. Oleh karena itu masyarakat akan selalu berusaha “menyadarkan” orang-orang tersebut supaya kembali jadi hetero. Misalnya, G - sebut saja begitu, seorang mantan pedila (perempuan yang dilacurkan) di Prumpung menceritakan bahwa ketika orangtuanya tahu ia lesbian, ia dipaksa menikah dengan laki-laki yang belakangan diketahui adalah pelaku kekerasan. KDRT yang dialami itulah yang akhirnya menyebabkan ia kabur ke Jakarta dan menjadi pedila. Sebaliknya, banyak juga laki-laki yang baik dipaksa atau tidak, menikah dengan perempuan sebagai pelarian atas homoseksualitasnya. Dan kembali, perempuan yang menjadi istrinya menjadi korban karena dinikahi hanya untuk status suaminya di masyarakat sebagai seorang heteroseksual, sementara di belakang ia tetap berhubungan dengan sesama jenisnya. Tidak jarang si perempuan ini juga akan menjadi korban kekerasan dari suaminya itu, dan juga akan jadi orang yang disalahkan oleh pihak keluarga jika sampai ketahuan bahwa suaminya masih saja gay meskipun sudah menikah.

Kalau mau bicara HAM, tentu saja setiap orang punya hak untuk punya pasangan hidup, mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri, mencintai dan dicintai termasuk juga untuk menentukan orientasi seksualnya. Tapi untuk konteks masyarakat, selalu aja dibenturkan dengan pendapat bahwa penggunaan HAM nggak bisa mengganggu hak asasi manusia lain, harus selalu sesuai dengan nilai budaya yang berlaku di masyarakat setempat dsb.

Sejujurnya, aku sendiri masih kebingungan dengan segala tentang seksualitas dan orientasi seksual. Aku sendiri pernah mencoba mempertanyakan kehetero-anku setelah membaca artikel tentang ‘lesbian possibility’ dari seorang feminis. Dalam artikel itu disebutkan bahwa pada dasarnya semua orang punya kecenderungan untuk tertarik dengan sesama jenisnya, akan tetapi dengan ideologi patriarki yang menghegemoni maka kemungkinan tersebut dihilangkan, terjadi apa yang disebut sebagai “compulsory heterosexuality”. Manusia, terutama perempuan sejak kecil ditanamkan bahwa hanya ada satu orientasi seksual, yaitu heteroseksual, dan yang menyimpang dari itu adalah dosa, terkutuk, abnormal. Dan maka dari itu, penting untuk mempertanyakan kembali, apakah kita menjadi heteroseksual dengan sadar? Apakah kita menyadari bahwa ada orientasi seksual yang lain?

Banyak teori tentang bagaimana orientasi seksual itu terbentuk, bisa aja karena pengaruh pengalaman hidup, entah trauma karena kondisi keluarga, pengalaman masa lalu yang buruk dengan lawan jenis dsb. Atau ada juga yang diistilahkan sebagai “lesbian ideologis” (atau lesbian feminis?) menjadi lesbian (homoseksual) karena kesadaran dan perlawanan atas patriarki, termasuk compulsory heterosexuality. Bisa juga by nature secara kodrati, nggak ada pengalaman hidup atau alasan ideologis tiba-tiba jatuh cinta atau punya ketertarikan dengan sesama jenis.

Aku, yang sampai saat ini sangat yakin dengan kehetero-anku, setidaknya sampai saat ini masih percaya pada cinta. Hubungan apapun, hetero ataupun homo basisnya musti cinta, dari hati. Itu masalah hati, dan cinta itu kan buta (sebenarnya bukan buta, kalaupun melihat tapi nggak peduli), tuli dan juga bodoh. Dan kalau hati sudah bicara tentu aja nggak akan memandang ideologi, pengalaman hidup, jenis kelamin, rupa, status, SARA. Jadi ya, aku percaya bahwa orientasi seksual ditentukan oleh hati, kodrati dari sononya. Dan itu emang bisa berubah, namanya juga hati. Meskipun mau dipenjara, dikutuk orang sekampung, diarak bugil, dirajam, atau diapakanpun, nggak ada yang bisa merubah hati, kecuali yang hati itu sendiri (yang punya hati aja kadang ngga bisa mengendalikan hatinya, makanya AA Gym sampai buat lagu Jagalah Hati, itu juga mungkin yang membuatnya pada akhirnya nggak bisa menahan diri untuk berpoligami).

Kalau mau bicara religius, Tuhan menciptakan manusia bermacam-macam agar makhluk ciptaanNya saling mengenal. Kalau dia mau, bisa aja dia ciptakan manusia heteroseksual semua. Setiap apa yang dilakukan Tuhan pasti ada maksudnya. Yang pasti Tuhan yang Maha Pengasih tidak akan menjadikan makhluknya homoseksual untuk dianiaya oleh manusia lainnya. Untuk soal agama saja, yang paling mendasar, sudah ada prinsip ‘bagimu agamamu dan bagiku agamaku’. Saatnya mungkin kita populerkan prinsip ‘bagimu orientasi seksualmu dan bagiku orientasi seksualku’ agar jangan saling mengganggu. Biarkan Tuhan menjadi satu-satunya hakim.

"If I could have one wish granted to reverse an injustice, it is for the world to end the persecution of people because of their sexual orientation, which is every bit as unjust as that crime against humanity, apartheid."
~ Desmond Tutu, South Africa ~


(Sebagian tulisan ini sudah ada di komputerku sejak akhir tahun 2005. Thanks buat teman-teman di milis womenlbtindonesia atas diskusinya. Semoga tetap semangat!)

A Different May Day


This is another souvenir from Rome. This poster really drew my attention. It's in Italian but basically it is a poster to commemorate this year May Day. It tells about the huge number of working accidents resulted in injury or even deaths of labours in Italy.

Anyway, this is a very different May Day for me. In Switzerland actually May Day has not been an official national holiday, but few companies do let their employees to have a day off during May Day. Thank God that ICJ does, although the Secretary General and some of his staff still come to the office responding to their tremendous workload. But seems it feels kind of strange to have a holiday on May Day but you just staying at our tiny apartment, instead of marching out in the streets with thousands of labours like I did for the last three May Days I have in Jakarta (I missed those things so much!). Seems like I started to think like those corporation, thinking that May Day is not a holiday, its just that if a labour involve on a rally instead of working, he or she would not be considered as absent. But that's not the idea; labours are entitled to a holiday on May Day as an appreciation to their rights and their role in the society.

I found that no labour, demonstration, protest or rallies in the streets of Switzerland, or at least in Geneva. Is this means that all labours rights here are fulfilled so they have nothing to protest for? I don’t know.

As for Indonesia, I think labours still had a long way to go to pursue their rights. The exploitation of subcontract and outsourcing labours, the sexual and reproductive rights for female labour, the standard minimum wage that is way beyond the realistic minimum needs, the discrimination of employment, the compulsory extra long working hours, and a whole lot more.

Rome Wasn't Built in A Day







I don't mean to show off or anything, just want to share you some of the things that I inspired from my journey to Rome last weekend. While we driving on a sightseeing tour in Rome with my friend, her car suddenly played this song "Rome wasn't built in a day…" Indeed, its true that here I tried to recall my memories on the ancient Rome history that I studied maybe since junior high. This is the city that has been there for thousands years, even before Christ, even before people now how to count days, month and years. And if you see Rome now, you would see how the ancient and modern civilization goes hand in hand. It’s amazing to witness what was left from those peoples of hundreds or thousands years ago. Some of them are still there, even can be utilized, like the big Pantheon that now used as church, like some other old basilicas that used to be the temple to worship ancient God and Goddess.

And as Rome wasn't built in a day, so does everything in our life. We could not expect instant result on anything that we are fighting for. The whole life itself is an ongoing process. Be sure to do the best on everything you are fighting for, and wait for the very moment when the result come out in a perfect time…and in the meantime, just enjoy the process and take the best out of everything. And even though at the end the result is not as you would expect it to be, hope you can be grateful that you have been benefited from the process, in a way or another. And one inspiring words that I used to send to motivate my friends: "Allah answer prayers in three ways, Allah could say YES and gives what you asked, Allah could say NO and give you something better, or Allah could say LATER and gives you what you asked in an appropriate time in the future".