Sunday, September 23, 2007

Rumah Adalah Di Mana Hati Berada

"ke Jakarta aku kan kembali…walaupun apa yang 'kan terjadi…" (lagu nya Koes Plus)

Sudah dua bulan setengah aku kembali ke Jakarta, aneh rasanya menimbang sebenarnya aku pergi ke Swiss cuma 6 bulan. Tentu saja bulan pertama penuh dengan "homecoming activities" menuntaskan kerinduan dengan keluarga, teman-teman, ruang pengadilan, kantor polisi, terminal Blok M, ojek, batagor, cakwe, mie ayam, nomat… (ternyata sekarang nonton di TIM senin-jumat cuma Rp.10.000..bahagianya..sayang tetap aja jauh banget :). Akhirnya meski telat banget juga bisa nonton ‘Naga Bonar Jadi 2’ dan dengar lagu 'Kucing Garong' setelah sekian lama cuma dapat hebohnya dari teman-teman lewat chatting…Dan terutama harus bersyukur pada Tuhan karena kepulanganku sepertinya begitu tepat pada waktunya. Tepat waktu untuk melengkapi persyaratan sehingga akhirnya aku bisa disumpah menjadi advokat tanggal 7 Agustus kemarin (akhirnya 1,5 tahun setelah lulus ujian…meski sempat rusuh juga gara-gara ratusan calon advokat yang nggak bisa ngantri). Bisa mengikuti serunya Pilkada pertama di Jakarta (meski akhirnya aku memilih untuk golput setelah usahaku mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang kedua pasang calon nggak juga meyakinkan aku untuk memilih). Bisa menghadiri perkawinan seorang teman baik dan berkumpul lagi dengan teman-teman kuliah mengingat masa lalu yang indah (dan ternyata meski sekarang sudah ada iklannya Agus Ringgo tetap aja ada pertanyaan standard yang diajukan di acara perkawinan :)

Waktu masih di Geneva, aku sering ditanya tentang rencana selanjutnya setelah magangku selesai. Kebanyakan orang yang menjalani magang biasanya punya proyeksi untuk kerja di PBB, atau setidaknya salah satu NGO internasional. Aku selalu bilang bahwa aku akan kembali ke Indonesia, bukan cuma karena terikat ikatan dinas dengan lembagaku selama 6 bulan, tapi juga karena aku memang tidak berpikir untuk punya karir ‘internasional’. Kadang setengah serius ku berkata “Indonesia needs me!” (hehehe, dasar narsis). Kukatakan setengah serius karena aku pikir memang “Indonesia” jauh lebih butuh aku dibanding berbagai organisasi internasional yang punya ratusan calon dari berbagai belahan dunia merebutkan posisi disana. Ironis juga ketika kita bekerja di suatu lembaga internasional dan ada yang mempertanyakan tentang kacaunya situasi penegakan hukum dan HAM di Indonesia, dan kita cuma bisa berkata “ya, begitulah keadaan di Indonesia”. Dan pernyataan itu akan menjadi bumerang dan berbunyi lain di kepala kita “lalu mengapa kamu ada disini, bukannya membereskan kekacauan di sana?” Ini hanya pemikiran simple dan sederhana seorang aku yang memang terbiasa dengan pekerjaan lapangan dan berhubungan dengan akar rumput bukan di pekerjaan di balik layar di tingkatan pemikir, konseptor apalagi pemantau. Oke, mungkin sebenarnya aku yang lebih butuh Indonesia dibandngkan Indonesia membutuhkan aku. Aku yang dengan tangan-tangan kurusku masih berharap bisa membuat perubahan meski kecil dan mungkin tidak signifikan.

Tapi memang, egois sekali rasanya bila aku “menjual diri” di salah satu organisasi internasional dengan alih-alih sebagai aktivis HAM dengan gaji ribuan dollar untuk diriku sendiri. Mengutip Yap Yun Hap, aku disekolahkan dengan uang rakyat, makanya seharusnya bekerja untuk rakyat (jamannya dia UI masih murah dan tersubsidi oleh negara belum mahal habis-habisan seperti sekarang). Seperti juga aku, dengan segala kemurahan Tuhan yang akhirnya bisa membuatku seperti sekarang ini yang telah melibatkan begitu banyak pihak dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Beasiswa dan keringanan biaya untuk kuliah, berbagai kemudahan dan kesempatan yang sudah aku dapat dan masih banyak lagi.

Dalam suatu pembicaraan dengan dua orang intern lain, yang satu orang Perancis yang pernah tinggal dan sekolah di berbagai negara, dan satunya adalah seorang berkebangsaan Malaysia yang sekolah di Singapura, kuliah di Australia dan tidak terpikir untuk berkarir di Malaysia. Mereka mengagumi “nasionalisme” orang-orang Indonesia termasuk aku, sebagaimana orang-orang Indonesia di Swiss yang meski sudah tinggal puluhan tahun disana tetap punya KTP Indonesia, ribuan buruh migran Indonesia di berbagai negara yang kerja keras banting tulang dengan berbagai resiko kekerasan demi masa depan yang lebih cerah di tanah air dsb. Mereka bertanya, apa sih yang diajarkan kepada orang-orang Indonesia di sekolah sampai bisa sebegitunya. Bahkan sampai “is it because the Pancasila thing?” Bangga sekaligus ingin ketawa juga mendengarnya. Kenapa ya? (untuk menghindari jawaban yang klise) Mungkin juga karena orang Indonesia itu masih berbudaya tradisional agraris yang begitu terikat dengan tanah air, lain dengan masyarakat industri yang terikat dengan modal.

Kalau mau dibanding-bandingin antara Jakarta dan Geneva atau kota-kota di luar negeri, kayaknya nggak bisa juga secara perbedaannya jauh banget. Geneva yang kutinggalkan itu begitu damai, teratur, tenang, bersih, disiplin. Sebuah kota yang “manusiawi” memperlakukan warganya sebagai manusia bukan hanya sekedar angka-angka sebagaimana di Jakarta (meminjam istilahnya Hudan Hidayat). Misalnya aja, beberapa waktu sebelum aku pergi di Geneva ada “Fete de la Musique” festival musik tahunan dimana ada sekitar 30 panggung tersebar di penjuru kota selama 3 hari, dari modern, klasik dan tradisional (bahkan gamelan Bali pun ada!) dan semua gratis. Orang-orang pun datang dari berbagai sudut kota dan menikmati musik di taman, gedung pertunjukan bahkan di pinggir jalan. Seni bukan lagi barang mahal.

Jakarta…hmm…masih aja seperti itu (bahkan Chris direkturku di ISHR menyebutnya “mad house”). Susah payah menanggung lebih dari 10 juta penduduknya. Jakarta tetaplah kota yang belum ramah terhadap perempuan, anak dan orang miskin. Dimana orang-orang yang punya uang dan akses menjadi semakin kaya dan orang-orang miskin menjadi semakin bodoh dan terpuruk. Dimana hukum dan ketertiban bisa dibeli dan itu sudah menjadi rahasia umum. Adalah supir-supir angkutan umum yang semuanya sepertinya punya bakat untuk jadi pembalap cross country. Penggusuran dimana-mana. DBD, Muntaber, gizi buruk. Anak jalanan korban lindasan kereta api di Kalibata minggu lalu yang nyaris ditelantarkan di salah satu RS daerah karena nggak punya penjamin, KTP apalagi GAKIN. Proyek megapolitan yang super aneh, kebijakan-kebijakan perkotaan yang aneh, monopoli angkutan umum yang dilegalkan. Yang baru dari Jakarta adalah bertambahnya koridor Busway yang sudah beroperasi. Yang aneh itu jalur busway Kampung Rambutan – Kampung Melayu, yang mana dunia sudah tahu sejak dari jaman dulunya sudah super macet. Dulu diprotes karena dianggap mengancam keberadaan ratusan mikrolet dan angkot yang juga berarti penghidupan ribuan orang supir beserta keluarganya, saat ini dipaksakan untuk ada tanpa merubah keadaan semula. Tanpa jalur khusus, berebutlah ia dengan ribuan angkot dan kendaraan pribadi. Jadilah ia tak punya kelebihan kecuali ber AC dan punya connection dengan busway jalur lain.

Adalah ratusan anak jalanan, pengemis dan dan pengamen yang sepertinya selalu berregenerasi dan bahkan jadi pilihan mata pencaharian yang cukup prospektif. Adalah puluhan ibu, remaja dan anak-anak yang mencari rezeki dengan menjadi joki three in one di tengah ancaman garukan Tibum dan Satpol PP. Masih segar di ingatan ketika si kecil Irfan tewas di tangan Satpol PP saat tergaruk Satpol PP di kawasan Pakubuwono. Pemerintah Kota yang bingung karena sudah sangat jelas three in one bukan solusi, akhirnya berencana meluncurkan electronic road pricing dimana kendaraan yang akan melewati jalan-jalan biang macet diharapkan untuk membayar sejumlah uang seperti bayar tol, dengan harapan mereka akan memilih naik angkutan umum dan akhirnya mengurangi kemacetan. Solutif nggak? Secara selama bertahun-tahun para pemilik kendaraan bermotor itu juga merelakan keluar uang untuk bayar joki three in one atau bayar aparat?

Adalah puluhan ribu warga kolong tol Jakarta Utara yang harus digusur dengan hanya menerima uang “kezaliman” sebesar satu juta rupiah (yang untuk beli tanah kuburan saja tidak cukup). Sementara kolong rel kereta api yang justru jauh lebih membahayakan justru telah bertahun-tahun digunakan sebagai lahan bisnis dan fasilitas. Bahkan baru-baru ini Sutiyoso menyatakan bahwa lahan bawah tanah di Jakarta dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Tidak konsisten!

Adalah penggarukan terhadap perempuan yang dilacurkan atas nama moral dan ketertiban yang ternyata tidak mampu mencegah mereka untuk kembali ke jalan. Adalah para pedagang VCD porno di balik pagar di Cawang UKI yang bekerja dengan “pasar persaingan sempurna”. Adalah 3 kasus kekerasan seksual terhadap anak (2 diantaranya dilakukan oleh anak laki-laki 13 tahun terhadap anak perempuan yang jauh lebih kecil) yang sudah ada di mejaku dalam 2 minggu pertama aku kembali ke Jakarta.

Adalah Pemerintah Daerah dan DPRD yang begitu sadisnya mengeluarkan Perda nomor 8 Tahun 2007 sebagai pengganti Perda Nomor 11 Tahun 1988, yang jika diimplementasikan betul-betul akan membabat habis pengojek, gelandangan, pengemis, pemulung, joki three in one, becak, bajaj, pengamen dan Pedagang Kaki Lima (PKL). Bahkan ada ancaman sanksi puluhan juta bagi orang yang memberi uang pada pengemis. Konyol sekali. Melarikan diri dari tanggung jawab pemenuhan kesejahteraan bagi warganya, malahan memberangus orang-orang miskin menyingkirkan mereka sejauh-jauhnya dari Jakarta demi membuatnya terlihat sebagai kota yang tertib dan “manusiawi”. Tragis.

Gubernur baru, ada harapan baru tentang Jakarta yang lebih baik, meskipun tentunya bukan pekerjaan yang gampang. Aku sih berpikir Jakarta itu sudah terlalu kronis penyakitnya, mendarah daging sampai ke tulang. Aku juga percaya kalau mau membersihkan harus pakai sapu yang bersih, kalau bisa sih sapu baru, ataupun sapu lama yang sudah dicuci bersih. Ya, berharap lah untuk yang terbaik.

Kata orang, rumah adalah dimana hati berada dan kesanalah kita akan selalu kembali. Seburuk apapun saat ini dan nantinya. Sejauh manapun roda nasib akan membawaku.

Aku Ingin Bisa Menjadi Cahaya Kebenaran

YB Mangunwijaya dalam sebuah pertemuan di Solo bulan Oktober 1984 menyatakan kerinduannya akan tampilnya splendor veritatis (Latin, splendor: kecemerlangan atau cahaya; veritas: kebenaran). Cahaya kebenaran adalah orang yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam perjuangan hidup manusia lain yang mendambakan pemanusiawian dirinya. Orang yang memiliki cahaya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga dapat menerangi sekelilingnya.

Aku ingin menjadi seberkas cahaya itu, yang meskipun kecil bisa menerangi dan membawa perubahan. Aku tidak ingin menjadi seperti kebanyakan akademisi yang berada di dalam "menara gading", atau seperti kebanyakan seniman yang bersembunyi di balik slogan “resi di atas angin”. Atau seperti kebanyakan pekerja LSM yang menjadikan hak asasi manusia dan penderitaan komunitas akar rumput sebagai komoditi untuk mendapatkan sumbangan luar negeri.

Aku juga tidak ingin hanya menjadi aktivis di belakang meja. Seperti kata Hina Jilani, utusan khusus Sekjen PBB untuk isu Pembela HAM, sebagai seorang pengacara HAM ia harus dapat terjun ke dunia peradilan. Meskipun tidak harus selalu memenangkan perkara, akan tetapi kekalahan tersebut akan selalu menjadi penyemangat untuk berjuang lebih keras lagi.

Aku ingin selalu bisa berkontribusi untuk perbaikan bagi sebanyak-banyaknya orang. Seperti yang dilakukan anak kecil dalam film “Pay It Forward” dimana dia membuat suatu konsep serupa multi level marketing untuk sebuah gerakan berbuat baik.