Wednesday, June 07, 2006

Kepada Orang-orang yang Merasa jadi Wakil Tuhan di Dunia

No Matter What

No matter what they tell us
No matter what they do
No matter what they teach us
What we believe is true

No matter what they call us
How ever they attack
No matter where they take us
We’ll find our own way back

I can deny what I believe
I can’t be what I’m not
I know my love forever
I know no matter what

If only tears were laughter
If only night was day
If only prayers were answers
Then we would hear God says

No matter what they tell you
No matter what they do
No matter what they teach you
What you believe is true

And I will keep you safe and strong
Shelter from the stone
No matter where it’s barren
Our dream is big and bold

No matter who they follow
No matter where they be
No matter how they judge us
I’ll be everyone you need

No matter if the sun don’t shine
If the sky aren’t blue
No matter what the ending
My life be heir with you

I can deny what I believe
I cant be what I’m not (I know I’m not)
I know this lasts forever

That’s all that matters now
No matter what
No matter what
No no matter what
That’s all that matters to me

Mungkin jiwa dari lagu itu yang disenandungkan oleh Lia Eden dan penganutnya saat menjalani Persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap dakwaan penodaan agama yang dikenakan kepada Lia Eden, ditengah pandangan aneh ratusan orang dengan pikiran mereka masing-masing.

Persidangan itu mengingatkan ku kembali pada perdebatan ku di milis SMU ku dengan beberapa teman yang dimulai dengan forward-an ku tentang petisi kebebasan beragama yang diinisiasi oleh JIL.

Waktu itu, berkaitan dengan Fatwa MUI yang telah dikeluarkan sejak tahun 1980-an yang menganggap Ahmadiyah sesat, yang kemudian dikuatkan lagi oleh MUI Bogor, yang kemudian berujung pada penyerangan Kampus Mubarak dan jamaah Ahmadiyah di Parung, Bogor.

Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dalam konferensi persnya tanggal 14 Juli mencatat, sejak 1997 saja sudah ada 21 kali tindakan pemberangusan orang ataupun kelompok yang dianggap “sesat”. Padahal, di samping bunyi butir referendum atau “seruan” tokoh agama dan tokoh masyarakat itu, negara sesungguhnya telah menjamin kemerdekaan berkeyakinan seluruh anak bangsa sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM, yang berbunyi, "hak kebebasan pribadi, pikiran, nurani dan hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun", serta pasal 29 (2) UUD 1945 hasil Amandemen yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Indonesia bukan negara sekuler, tapi juga bukan negara agama, apalagi negara Islam. Tidak seperti Iran yang menjadikan Syiah sebagai aliran agama resmi (meski kemungkinan suatu saat nantinya di Indonesia bisa jadi dianggap sesat oleh MUI). Pemilihan suatu aliran agama resmi juga terkait dengan siapa yang jadi penguasanya. Seorang temanku bilang, Islam itu satu, tentu saja. Jadi kenapa musti meributkan Ahmadiyah? Aku sih percaya bahwa agama adalah hal yang paling mendasar, menyangkut hubungan seseorang dengan Tuhannya, vertikal, ngga bisa dicampuri orang lain, negara sekalipun. Agama adalah jalan untuk menuju hubungan tersebut. Jadi kalau ada saudara-saudara kita yang mau menempuh jalan lain untuk mencapai tujuan yang sama, bukan hak kita untuk melarang. Dan kembali lagi pada prinsip agung “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” Rasullulloh saja ngga akan memerangi kaum kafir kecuali jika dianggap membahayakan bagi muslim. Kalau kita (muslim) bisa hidup dengan orang-orang yang beragama lain, mengapa kita tidak bisa hidup dengan orang yang seagama, sholatnya sama, syahadatnya sama, kitabnya sama, dan banyak sama2 yang lain dengan sedikit perbedaan penafsiran?Ternyata Kamis malam tanggal 28 Juli 2005, MUI menutup Munas-nya dan mengeluarkan 11 fatwa, yang diantaranya adalah mengharamkan pluralisme dan liberalisme, serta menyatakan kembali bahwa Ahmadiyah sesat. Termasuk juga fatwa yang mendefinisikan kepentingan umum (ini berkaitan dengan Perpres 36/2005 yang kontroversial yang disebut2 sebagai pesanan pemerintah khususnya SBY dan Sutiyoso) dan tentang HAKI (hak atas kekayaan intelektual-pesanan kapitalis terutama Microsoft, padahal bukannya dalam Islam semua ilmu adalah milik Allah untuk kebaikan seluruh umat, manusia hanya corong, jadi bagaimana mungkin manusia mengambil keuntungan berlipat2 dari ilmu Allah?).

Saya mendapat cerita, orang yang melakukan teror di Ahmadiyah. Mereka teriak, berpapasan dengan orang-orang HAM, ini bukan lagi hak manusia, tapi sudah merupakan hak Tuhan. Biar saja Tuhan menutup Ahmadiyah itu. Jangan kamu dong yang menyerang dengan terorisme. Nah, fatwa MUI ini menimbulkan keresahan dan aksi yang tidak terkontrol dan MUI tidak keluarkan fatwa tentang hal ini. Saya dapat informasi, ada orang dari Garut, datang menceritakan betapa rombongan orang datang, dipimpin oleh seorang jawara. Kemudian mereka datangi kantor cabang Ahmadiyah di situ, ketuanya dipanggil. Orang itu memang ahli jawara. Dia bawa pedang dan golok, ditaruhkan di leher si ketua Ahmadiyah itu, dipaksa untuk menandatangani. Isinya, bahwa kami betul-betul telah insyaf dari kesesatan kami, kami menyatakan keluar dari Ahmadiyah dan masuk Islam. Masa orang disuruh masuk Islam dengan golok ? (Dawam Raharjo, cendekiawan muslim, dalam diskusi `Menyikapi Perbedaan Pasca Fatwa MUI` Waktu : Kamis, 4 Agustus 2005 pukul 13.05 s/d 14.30 di Hotel Mandarin Jakarta yang disiarkan di 89,2 FM Radio Berita 68h)

Pada waktu itu, aku sendiri mendengar berbagai keluh kesah dari seorang temanku yang Ahmadiyah, yang sangat kutahu keshalihan dan ketaatan ibadahnya (bahkan yang kuingat dia adalah orang yang sering mengingatkan teman-temannya untuk berdoa sebelum makan) dan sangat menjunjung tinggi prinsip (atau motto) yang dianut Ahmadiyah: may god bless us all and may god forgive those who didn't know.
Berikut ini adalah petikan e-mail dari Djohan Effendi dari ICRP tanggal 11 Agustus 2005:Kebebasan berkeyakinan melekat pada eksistensi manusia dan karena itu manusia dibebani tanggung jawab atas pilihannya. Kebebasan itu adalah anugerah Tuhan yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Allah s.w.t. berfirman dalam al-Quran: "Dan katakanlah kebenaran dari Tuhan kalian maka barangsiapa mau silahkan beriman dan barangsiapa mau silahkan kafir" (Al-Kahfi 29). Dengan demikian bukankah merampas kebebasan manusia yang bersifat primordial dan eksistensial itu sama artinya dengan merampas otoritas Tuhan? Kalau manusia diberi kebebasan untuk beriman atau tidak maka apakah manusia yang menganut suatu agama dipaksa hanya menganut hanya satu penafsiran tentang ajaran-ajaran agama itu? Saya rasa pertanyaan ini tidak realistik karena dalam kenyataan tidak pernah ada penafsiran tunggal terhadap ajaran-ajaran agama. Tidak hanya tentang masalah-masalah furu'iyah (ranting) tapi juga masalah-masalah ushuliyah (pokok). Dalam perspektif agama Islam, perbedaan pemahaman dan penafsiran itu terjadi tidak hanya dalam masalah-masalah fikih tapi juga dalam masalah-masalah akidah. Perbedaan antara sunni, syiah dan mu'tazilah adalah perbedaan dalam masalah akidah. Begitu pula perbedaan antara para filosof, mutakallimin dan sufi. Perbedaan itu menyangkut tentang konsep mengenai Tuhan, kenabian, kehidupan akhirat, tentang sorga dan neraka, tentang kejadian alam dan sebagainya. Dibandingkan dengan pendapat para filosof islam yang seperti dikritik oleh al-Ghazali berpendapat bahwa alam ini azali, pengetahuan Tuhan terbatas hanya pada masalah-masalah kulliyah (universal) tidak mencakup masalah-masalah juz'iyah (partikular), kehidupan akhirat bersifat ruhaniyah tidak jasmaniyah, maka penafsiran tentang khatamun nabiyyin sebagaimana dianut oleh Jemaat Ahmadiyah belumlah terlalu mendasar.

Abdul Moqsith Gozali juga menulis di website JIL: Allah lah yang akan memutuskan di akhirat kelak tentang ajaran-ajaran yang dianggap menyimpang atau tidak. Allah SWT berfirman di dalam Alquran, inna rabbaka huwa yafshilu baynahum yawmal qiyamah fi ma kanu fihi yakhtalifun (sesungguhnya Tuhanmu yang akan mengambil kata putus atas perselisihan yang berlangsung di antara mereka, kelak pada hari kiamat). Di tempat yang lain, Allah SWT berfirman, inna rabbaka huwa a’lamu biman dlalla ‘an sabilihi wa huwa a’lamu biman ihtadza (sesungguhnya Tuhanmu adalah yang paling tahu perihal seseorang yang tersesat dari jalannya dan yang mendapatkan petunjuk).

Minoritas diasingkan sebagai “agama” non Islam. Tapi kembali lagi, saat ini Indonesia bukan negara agama, apalagi negara Islam. Tapi sungguhkah kita ingin seperti itu? Mengasingkan dan menghanguskan kelompok-kelompok yang kita duga termasuk 73 kelompok yang akan dihanguskan lagi di akhir zaman itu?

Lia Eden dengan Tahta Suci Kerajaan Eden-nya (dulu bernama Salamullah sehingga dianggap sebagai aliran Islam “sesat”) seperti yang kupahami selintas dari berbagai berita, juga VCD yang perneh mereka kirimkan ke kantor, terlahir sebagai reaksi terhadap kegalauan (mungkin) terhadap berbagai agama mainstream yang selalu bertentangan dan bertikai satu sama lain baik terbuka maupun tidak. Yang kulihat mereka melakukan semacam sinkretisme dari apa yang mereka anggap baik dari Islam, Budha, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu bahkan juga ada ajaran kejawen disitu. Tegas mereka mengatakan bahwa mereka bukan Islam, sehingga seharusnya mereka tidak dikenai pasal penodaan agama. Seperti yang terjadi pada Ahmadiyah dan juga berbagai kelompok agama lainnya, pada suatu hari rumah ibadah mereka diberangus dan dua pimpinan mereka ditangkap. Tapi pengikut mereka tetaplah loyal, dan aku bersyukur mereka masih diperlakukan dengan baik sampai saat ini. Setiap kali sidang, mereka selalu datang, laki-laki perempuan dewasa anak-anak hingga bayi dengan pakaian putih mereka yang khas.

Apakah penjara bagi Lia Eden nantinya mampu menghilangkan kepercayaan mereka terhadap apa yang mereka anut?

Agama dan keyakinan adalah hal yang paling pribadi, dan cinta umat kepada Tuhan-nya seharusnya melebihi kecintaaan pada apapun di dunia ini. Dengan memfatwa satu aliran sesat, dengan membakar tempat ibadah mereka, apakah akan mematikan mereka? Apakah mereka kemudian akan melepaskan keyakinannya dan kemudian mengikuti keyakinan mayoritas? Tidak, keimanan atas apa yang mereka yakini akan tetap hidup dalam hati mereka, justru tekanan yang mereka alami justru akan membuat mereka semakin membangun kekuatan. Dan keyakinan memilih suatu agama harusnya berasal dari kesadaran kritis, bukan hanya kesadaran semu. Kita (yang muslim) memilih Islam bukan karena orangtua kita Islam dan dari kecil dididik dengan Islam, tapi karena kita sudah tahu dengan sadar dan bertanggungjawab alasan kenapa kita memilih Islam dan bukan yang lain.

Sehingga kalau mau menarik mereka ke keyakinan mainstream, ajaklah dialog (dialog antar agama dan keyakinan seperti yang diperjuangkan oleh JIL, ICRP, MADIA dan sejenisnya). Karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena punya akal pikiran yang nggak bisa dikuasai orang lain, nggak seperti kerbau atau kuda yang harus dipecut, atau lumba-lumba yang harus dikasih makan dulu untuk melakukan apa yang kita mau. Dan sungguh, setelah aku bergaul dan berdiskusi dengan berbagai agama dan keyakinan justru aku malah semakin meyakini pilihan yang aku anut.

Malahan, ini yang aku takutkan, pemberangusan terhadap mereka akan menimbulkan kebencian yang akan terwariskan dari zaman ke zaman. Apakah kita mau hidup di tengah kebencian tersebut? Dan kalau pemfatwaan sesat ini terus menerus dibiarkan, akan lebih banyak lagi kebencian, permusuhan dan konflik. Lalu bagaimana dengan cita-cita perdamaian dan rahmatan lil alamin yang menjadi jiwa Islam?
Sebagai penutup, ini adalah puisi dari KH A. Mustofa Bisri, ketua NU yang aku dapat tanggal 10 Agustus 2005.
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
Pekik kalian menghalilintar
Membuat makhluk-makhluk kecil tergetar
Allahu Akbar! Allah Maha Besar
Urat-urat leher kalian membesar
Meneriakkan Allahu Akbar
Dan dengan semangat jihad
Nafsu kebencian kalian membakar
Apa saja yang kalian anggap mungkar
Allahu Akbar, Allah Maha Besar!
Seandainya 5 miliar manusia
Penghuni bumi sebesar debu ini
Sesat semua atau saleh semua
Tak sedikit pun memengaruhi
Kebesaran-Nya
Melihat keganasan kalian aku yakin
Kalian belum pernah bertemu Ar-Rahman
Yang kasih sayang-Nya meliputi segalanya
Bagaimana kau begitu berani mengatasnamakan-Nya
Ketika dengan pongah kau melibas mereka
Yang sedang mencari jalan menuju-Nya?
Mengapa kalau mereka
Memang pantas masuk neraka
Tidak kalian biarkan Tuhan mereka
Yang menyiksa mereka
Kapan kalian mendapat mandat
Wewenang dari-Nya untuk menyiksa dan melaknat?
Allahu Akbar!
Syirik adalah dosa paling besar
Dan syirik yang paling akbar
Adalah menyekutukan-Nya
Dengan mempertuhankan diri sendiri
Dengan memutlakkan kebenaran sendiri
Laa ilaaha illallah!
2005

(kamarku, 4 Juni 2006)

2 comments:

Anonymous said...

Let's be.

Anonymous said...

Certainly. All above told the truth. We can communicate on this theme.