Sunday, September 23, 2007

Rumah Adalah Di Mana Hati Berada

"ke Jakarta aku kan kembali…walaupun apa yang 'kan terjadi…" (lagu nya Koes Plus)

Sudah dua bulan setengah aku kembali ke Jakarta, aneh rasanya menimbang sebenarnya aku pergi ke Swiss cuma 6 bulan. Tentu saja bulan pertama penuh dengan "homecoming activities" menuntaskan kerinduan dengan keluarga, teman-teman, ruang pengadilan, kantor polisi, terminal Blok M, ojek, batagor, cakwe, mie ayam, nomat… (ternyata sekarang nonton di TIM senin-jumat cuma Rp.10.000..bahagianya..sayang tetap aja jauh banget :). Akhirnya meski telat banget juga bisa nonton ‘Naga Bonar Jadi 2’ dan dengar lagu 'Kucing Garong' setelah sekian lama cuma dapat hebohnya dari teman-teman lewat chatting…Dan terutama harus bersyukur pada Tuhan karena kepulanganku sepertinya begitu tepat pada waktunya. Tepat waktu untuk melengkapi persyaratan sehingga akhirnya aku bisa disumpah menjadi advokat tanggal 7 Agustus kemarin (akhirnya 1,5 tahun setelah lulus ujian…meski sempat rusuh juga gara-gara ratusan calon advokat yang nggak bisa ngantri). Bisa mengikuti serunya Pilkada pertama di Jakarta (meski akhirnya aku memilih untuk golput setelah usahaku mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang kedua pasang calon nggak juga meyakinkan aku untuk memilih). Bisa menghadiri perkawinan seorang teman baik dan berkumpul lagi dengan teman-teman kuliah mengingat masa lalu yang indah (dan ternyata meski sekarang sudah ada iklannya Agus Ringgo tetap aja ada pertanyaan standard yang diajukan di acara perkawinan :)

Waktu masih di Geneva, aku sering ditanya tentang rencana selanjutnya setelah magangku selesai. Kebanyakan orang yang menjalani magang biasanya punya proyeksi untuk kerja di PBB, atau setidaknya salah satu NGO internasional. Aku selalu bilang bahwa aku akan kembali ke Indonesia, bukan cuma karena terikat ikatan dinas dengan lembagaku selama 6 bulan, tapi juga karena aku memang tidak berpikir untuk punya karir ‘internasional’. Kadang setengah serius ku berkata “Indonesia needs me!” (hehehe, dasar narsis). Kukatakan setengah serius karena aku pikir memang “Indonesia” jauh lebih butuh aku dibanding berbagai organisasi internasional yang punya ratusan calon dari berbagai belahan dunia merebutkan posisi disana. Ironis juga ketika kita bekerja di suatu lembaga internasional dan ada yang mempertanyakan tentang kacaunya situasi penegakan hukum dan HAM di Indonesia, dan kita cuma bisa berkata “ya, begitulah keadaan di Indonesia”. Dan pernyataan itu akan menjadi bumerang dan berbunyi lain di kepala kita “lalu mengapa kamu ada disini, bukannya membereskan kekacauan di sana?” Ini hanya pemikiran simple dan sederhana seorang aku yang memang terbiasa dengan pekerjaan lapangan dan berhubungan dengan akar rumput bukan di pekerjaan di balik layar di tingkatan pemikir, konseptor apalagi pemantau. Oke, mungkin sebenarnya aku yang lebih butuh Indonesia dibandngkan Indonesia membutuhkan aku. Aku yang dengan tangan-tangan kurusku masih berharap bisa membuat perubahan meski kecil dan mungkin tidak signifikan.

Tapi memang, egois sekali rasanya bila aku “menjual diri” di salah satu organisasi internasional dengan alih-alih sebagai aktivis HAM dengan gaji ribuan dollar untuk diriku sendiri. Mengutip Yap Yun Hap, aku disekolahkan dengan uang rakyat, makanya seharusnya bekerja untuk rakyat (jamannya dia UI masih murah dan tersubsidi oleh negara belum mahal habis-habisan seperti sekarang). Seperti juga aku, dengan segala kemurahan Tuhan yang akhirnya bisa membuatku seperti sekarang ini yang telah melibatkan begitu banyak pihak dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Beasiswa dan keringanan biaya untuk kuliah, berbagai kemudahan dan kesempatan yang sudah aku dapat dan masih banyak lagi.

Dalam suatu pembicaraan dengan dua orang intern lain, yang satu orang Perancis yang pernah tinggal dan sekolah di berbagai negara, dan satunya adalah seorang berkebangsaan Malaysia yang sekolah di Singapura, kuliah di Australia dan tidak terpikir untuk berkarir di Malaysia. Mereka mengagumi “nasionalisme” orang-orang Indonesia termasuk aku, sebagaimana orang-orang Indonesia di Swiss yang meski sudah tinggal puluhan tahun disana tetap punya KTP Indonesia, ribuan buruh migran Indonesia di berbagai negara yang kerja keras banting tulang dengan berbagai resiko kekerasan demi masa depan yang lebih cerah di tanah air dsb. Mereka bertanya, apa sih yang diajarkan kepada orang-orang Indonesia di sekolah sampai bisa sebegitunya. Bahkan sampai “is it because the Pancasila thing?” Bangga sekaligus ingin ketawa juga mendengarnya. Kenapa ya? (untuk menghindari jawaban yang klise) Mungkin juga karena orang Indonesia itu masih berbudaya tradisional agraris yang begitu terikat dengan tanah air, lain dengan masyarakat industri yang terikat dengan modal.

Kalau mau dibanding-bandingin antara Jakarta dan Geneva atau kota-kota di luar negeri, kayaknya nggak bisa juga secara perbedaannya jauh banget. Geneva yang kutinggalkan itu begitu damai, teratur, tenang, bersih, disiplin. Sebuah kota yang “manusiawi” memperlakukan warganya sebagai manusia bukan hanya sekedar angka-angka sebagaimana di Jakarta (meminjam istilahnya Hudan Hidayat). Misalnya aja, beberapa waktu sebelum aku pergi di Geneva ada “Fete de la Musique” festival musik tahunan dimana ada sekitar 30 panggung tersebar di penjuru kota selama 3 hari, dari modern, klasik dan tradisional (bahkan gamelan Bali pun ada!) dan semua gratis. Orang-orang pun datang dari berbagai sudut kota dan menikmati musik di taman, gedung pertunjukan bahkan di pinggir jalan. Seni bukan lagi barang mahal.

Jakarta…hmm…masih aja seperti itu (bahkan Chris direkturku di ISHR menyebutnya “mad house”). Susah payah menanggung lebih dari 10 juta penduduknya. Jakarta tetaplah kota yang belum ramah terhadap perempuan, anak dan orang miskin. Dimana orang-orang yang punya uang dan akses menjadi semakin kaya dan orang-orang miskin menjadi semakin bodoh dan terpuruk. Dimana hukum dan ketertiban bisa dibeli dan itu sudah menjadi rahasia umum. Adalah supir-supir angkutan umum yang semuanya sepertinya punya bakat untuk jadi pembalap cross country. Penggusuran dimana-mana. DBD, Muntaber, gizi buruk. Anak jalanan korban lindasan kereta api di Kalibata minggu lalu yang nyaris ditelantarkan di salah satu RS daerah karena nggak punya penjamin, KTP apalagi GAKIN. Proyek megapolitan yang super aneh, kebijakan-kebijakan perkotaan yang aneh, monopoli angkutan umum yang dilegalkan. Yang baru dari Jakarta adalah bertambahnya koridor Busway yang sudah beroperasi. Yang aneh itu jalur busway Kampung Rambutan – Kampung Melayu, yang mana dunia sudah tahu sejak dari jaman dulunya sudah super macet. Dulu diprotes karena dianggap mengancam keberadaan ratusan mikrolet dan angkot yang juga berarti penghidupan ribuan orang supir beserta keluarganya, saat ini dipaksakan untuk ada tanpa merubah keadaan semula. Tanpa jalur khusus, berebutlah ia dengan ribuan angkot dan kendaraan pribadi. Jadilah ia tak punya kelebihan kecuali ber AC dan punya connection dengan busway jalur lain.

Adalah ratusan anak jalanan, pengemis dan dan pengamen yang sepertinya selalu berregenerasi dan bahkan jadi pilihan mata pencaharian yang cukup prospektif. Adalah puluhan ibu, remaja dan anak-anak yang mencari rezeki dengan menjadi joki three in one di tengah ancaman garukan Tibum dan Satpol PP. Masih segar di ingatan ketika si kecil Irfan tewas di tangan Satpol PP saat tergaruk Satpol PP di kawasan Pakubuwono. Pemerintah Kota yang bingung karena sudah sangat jelas three in one bukan solusi, akhirnya berencana meluncurkan electronic road pricing dimana kendaraan yang akan melewati jalan-jalan biang macet diharapkan untuk membayar sejumlah uang seperti bayar tol, dengan harapan mereka akan memilih naik angkutan umum dan akhirnya mengurangi kemacetan. Solutif nggak? Secara selama bertahun-tahun para pemilik kendaraan bermotor itu juga merelakan keluar uang untuk bayar joki three in one atau bayar aparat?

Adalah puluhan ribu warga kolong tol Jakarta Utara yang harus digusur dengan hanya menerima uang “kezaliman” sebesar satu juta rupiah (yang untuk beli tanah kuburan saja tidak cukup). Sementara kolong rel kereta api yang justru jauh lebih membahayakan justru telah bertahun-tahun digunakan sebagai lahan bisnis dan fasilitas. Bahkan baru-baru ini Sutiyoso menyatakan bahwa lahan bawah tanah di Jakarta dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Tidak konsisten!

Adalah penggarukan terhadap perempuan yang dilacurkan atas nama moral dan ketertiban yang ternyata tidak mampu mencegah mereka untuk kembali ke jalan. Adalah para pedagang VCD porno di balik pagar di Cawang UKI yang bekerja dengan “pasar persaingan sempurna”. Adalah 3 kasus kekerasan seksual terhadap anak (2 diantaranya dilakukan oleh anak laki-laki 13 tahun terhadap anak perempuan yang jauh lebih kecil) yang sudah ada di mejaku dalam 2 minggu pertama aku kembali ke Jakarta.

Adalah Pemerintah Daerah dan DPRD yang begitu sadisnya mengeluarkan Perda nomor 8 Tahun 2007 sebagai pengganti Perda Nomor 11 Tahun 1988, yang jika diimplementasikan betul-betul akan membabat habis pengojek, gelandangan, pengemis, pemulung, joki three in one, becak, bajaj, pengamen dan Pedagang Kaki Lima (PKL). Bahkan ada ancaman sanksi puluhan juta bagi orang yang memberi uang pada pengemis. Konyol sekali. Melarikan diri dari tanggung jawab pemenuhan kesejahteraan bagi warganya, malahan memberangus orang-orang miskin menyingkirkan mereka sejauh-jauhnya dari Jakarta demi membuatnya terlihat sebagai kota yang tertib dan “manusiawi”. Tragis.

Gubernur baru, ada harapan baru tentang Jakarta yang lebih baik, meskipun tentunya bukan pekerjaan yang gampang. Aku sih berpikir Jakarta itu sudah terlalu kronis penyakitnya, mendarah daging sampai ke tulang. Aku juga percaya kalau mau membersihkan harus pakai sapu yang bersih, kalau bisa sih sapu baru, ataupun sapu lama yang sudah dicuci bersih. Ya, berharap lah untuk yang terbaik.

Kata orang, rumah adalah dimana hati berada dan kesanalah kita akan selalu kembali. Seburuk apapun saat ini dan nantinya. Sejauh manapun roda nasib akan membawaku.

Aku Ingin Bisa Menjadi Cahaya Kebenaran

YB Mangunwijaya dalam sebuah pertemuan di Solo bulan Oktober 1984 menyatakan kerinduannya akan tampilnya splendor veritatis (Latin, splendor: kecemerlangan atau cahaya; veritas: kebenaran). Cahaya kebenaran adalah orang yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam perjuangan hidup manusia lain yang mendambakan pemanusiawian dirinya. Orang yang memiliki cahaya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga dapat menerangi sekelilingnya.

Aku ingin menjadi seberkas cahaya itu, yang meskipun kecil bisa menerangi dan membawa perubahan. Aku tidak ingin menjadi seperti kebanyakan akademisi yang berada di dalam "menara gading", atau seperti kebanyakan seniman yang bersembunyi di balik slogan “resi di atas angin”. Atau seperti kebanyakan pekerja LSM yang menjadikan hak asasi manusia dan penderitaan komunitas akar rumput sebagai komoditi untuk mendapatkan sumbangan luar negeri.

Aku juga tidak ingin hanya menjadi aktivis di belakang meja. Seperti kata Hina Jilani, utusan khusus Sekjen PBB untuk isu Pembela HAM, sebagai seorang pengacara HAM ia harus dapat terjun ke dunia peradilan. Meskipun tidak harus selalu memenangkan perkara, akan tetapi kekalahan tersebut akan selalu menjadi penyemangat untuk berjuang lebih keras lagi.

Aku ingin selalu bisa berkontribusi untuk perbaikan bagi sebanyak-banyaknya orang. Seperti yang dilakukan anak kecil dalam film “Pay It Forward” dimana dia membuat suatu konsep serupa multi level marketing untuk sebuah gerakan berbuat baik.

Monday, July 02, 2007

Krisis Lebah dan Keserakahan Manusia

Kamis 17 Mei 2007, salah satu stasiun TV mengabarkan kehebohan di Amerika tentang menghilangnya jutaan lebah. Akibatnya bukan hanya meruginya para pengusaha madu, akan tetapi banyak yang baru tersadarkan bahwa banyak tanaman bahan makanan seperti brokoli, apel dan sebagainya yang sangat bergantung pada lebah. tentunya akan mengganggu supply makanan di Amerika oleh karena itu para ahli berjuang keras menemukan jawabannya. Ternyata hal ini bukan merupakan hal yang baru karena gejalanya sudah timbul sejak bertahun-tahun yang lalu dengan sebutan Colony Collapse Disorder (CCD) yang selain ditemukan di 27 negara bagian di Amerika Serikat, juga Canada, Brazil, Eropa dan Taiwan.

Jika hal ini terus berlanjut, bukan mustahil bahwa pada suatu saat buah dan sayuran yang membutuhkan lebah dalam penyerbukannya karena kelangkaanya akan menjadi komoditi yang sangat mahal.

Temuan sementara, konon menghilangnya lebah-lebah ini disebabkan karena pestisida yang digunakan oleh petani, yang sepertinya membuat lebah-lebah ini jadi kehilangan kekebalannya, sebagaimana AIDS menyerang manusia. Sebab lain yang mungkin adalah banyaknya pemancar untuk telepon selular yang gelombangnya mengganggu navigasi lebah, sehingga lebah-lebah pekerja ini menjadi tidak tahu arah dan tidak dapat kembali ke sarang, sehingga menyebabkan ratu lebah (sebagai pemegang peranan pusat dalam reproduksi) serta lebah-lebah muda kekurangan makanan kemudian mati.

Islam sendiri dalam Al Quran memberikan perhatian khusus pada lebah, sampai ada satu surat yang khusus di namakan An Nahl (lebah). Lebah sebagai hewan yang sangat berguna bagi makhluk lainnya, yang menghasilkan madu yang dapat menjadi makanan, minuman sekaligus obat untuk berbagai penyakit bagi manusia. Cendekiawan muslim Harun Yahya juga membuat kajian mendalam tentang keajaiban lebah. Sebegitu pentingnya, ada juga orang yang bilang "If the bees disappeared off the face of the globe, then man would only have four years of life left."

Ada makna di balik semua pertanda, ada maksud dalam setiap hal yang terjadi di dunia. Mungkin saja, menghilangnya lebah-lebah ini adalah peringatan bagi manusia tentang hari akhir yang pasti akan datang. Dan mungkin saja kondisi yang memburuk masih bisa diperbaiki andai saja manusia memberikan perhatian lebih pada sekitarnya, terutama pada makhluk kecil bernama lebah yang selama ini begitu berjasa pada manusia. Mungkin juga jika manusia tidak lagi egois dan berbagi alam dan seisinya dengan makhluk lain, memperhatikan keseimbangkan ekologi dengan teknologi yang bersahabat dengan lingkungan. Dan memang manusia egois, perlu kegawatan yang mengancam kelangsungan hidupnya sendiri seperti ini untuk bisa membuat mereka sadar.

Wednesday, June 20, 2007

Hanya Satu Kata: Lawan!

Saat pertama kali mendengar orang meneriakkan kalimat itu di tengah demonstrasi awal-awal masa kuliah tahun 1999, aku belum pernah mendengar tentang orang ini yang pertama kali mempopulerkannya. Wiji Thukul, yang sampai saat ini masih tidak ada yang tahu kemana ia dihilangkan untuk dibungkam, semoga dia tahu begitu banyak orang yang sudah terinspirasi oleh sajak-sajaknya. Serius saat ini kuberdoa untuknya, dan sesungguhnya di dunia ini tidak ada perjuangan yang sia-sia.

Peringatan (1987)

Jika rakyat pergi
Kita penguasa berpidato
Kita harus hati hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata : lawan !


Ada sebagian sajaknya yang benar-benar begitu dahsyatnya membuatku terinspirasi ketika aku menemukannya di halaman muka situs www.toleransi.com :

apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli
apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata berdiri gagah kongkalikong dengan kaum cukong

sajakku adalah kebisuan yang sudah kuhancurkan
sehingga aku bisa mengucapkan dan engkau mendengarkan
sajakku melawan kebisuan


Baru-baru ini aku mendapatkan buku “Kebenaran Akan Terus Hidup” (kumpulan tulisan tentang Wiji Thukul) terbitan YAPPIKA dan IKOHI, dan juga kumpulan puisinya “Aku Ingin Jadi Peluru”. Sangat menginspirasi dan memberi semangat!

Tuesday, June 05, 2007

If You Want to Be Understood, Listen! (Lesson Learned from Babel)

Few weeks ago I finally managed to watch the movie Babel until the end (I bought the pirated DVD in Jakarta last year). This movie tells about peoples in different parts of the world, with different language, different problems that relates one another.

One thing that I felt negative about the movie is that it's another Hollywood-US made movie, where in the main characters, American is described in a positive manner while in a contrary to the other representation of the world. The good looking American Brad Pitt and Cate Blanchett are depicted as the hero and innocent victim. A middle aged women that working illegal in the US as a nanny, a man that kill a chicken sadistically by a manual strangulation, party like crazy, and drunk driving while carrying American children illegally across the border is the Mexican. A little boy that shoots a bus and finally injured an American to test a rifle gun that supposed to be used to protect their cattle, a father who hits his children, police officers that brutally tortured people to get confessions, the government that panicly putting security measures afraid allegation of reference to terrorism by the US are the Moroccan (Arabs). A father that neglect his deaf mute daughter, and a rebellious difabled teenager who take off her panty in a fast food restaurant to get the opposite sex's attention, also to appear in full nudity in the front of a police officer to seduce him to have sex with her are Japanese. And I absolutely object with this scene, how the film maker can put an underaged in such manner (an Asian girl!).

The tagline of the movie is "if you want to be understood, listen". It seems like trying to explain that bad things happen to people's lives due to their inablity to meaningfully communicate with each other, even when they speak the same language.

The word Babel is mentioned in the Bible, Genesis 10:10 as the home city of Nimrod. According to Genesis 11:1-9, mankind that survive after the deluge (the big flood in the history of Prophet Noah), traveled from the mountain where the giant ark had rested, and settled in 'a plain in the land of Shinar' (or Senaar). Here, they work together attempted to build a city and a tower whose top might reach unto Heaven, the Tower of Babel. The attempt to build the Tower of Babel had angered God who, in his anger, made each person involved speak a different language which ultimately halted the project and scattered and disconnected the people across the planet. “Therefore is the name of it called Babel (confusion); because the Lord did there confound the language of all the earth: and from thence did the Lord scatter them abroad upon the face of all the earth” (Genesis 11:9).

The destruction is not described in Genesis, but is mentioned in the Book of Jubilees. An interpretive account of the story explains the tower's destruction in terms of humankind's deficiency in comparison to God: within a religious framework, humankind is considered to be an inherently flawed creation dependent on a perfect being for its existence, and thus the construction of the tower is a potentially hubristic act of defiance towards the God who created them. As a result, this story is sometimes used within a religious context to explain the existence of many different languages and races. (Source: Wikipedia)

In Islamic perspective, the diversity of race, skin colours and languages are signs of Allah’s power. “And among His Signs is the creation of the heavens and the earth, and the difference of your languages and colours. Verily, in that are indeed signs for men of sound knowledge” (surah Ar Ruum [Rome] (30): 22). In another article in the Quran (which I embarassly forgot which one) it says that Allah create human beings in many varieties with different minds, tribes, customs, even religions so that they could know each other. This is quite confusing but at the same time amazing and make more sense to me. Allah with His powers could create all human beings in the same form, with the same language, custom and tradition, even sexual orientation and religion but Allah didn’t do it.

In reality human beings tends to relate with people with whom they have similarities, in the contrary they will minimize the the relation, even in conflict with people different from them. "Know" is not simply enough, but it has something to do with "understanding" and "tolerance". These things don’t happen spontaneously, but one must have a willingness to listen to the other, to understand what other people meant by words or an act, signs ore gestures. Maybe the tagline is right that if only everyone in that movie is able to effectively communicate with respect to each other, none of those disasters will happen. But as the scripture says, only the human being that uses their mind may understand and take lesson of anything that happen in their life.

Saturday, May 19, 2007

(Another one of) My Best Friends Wedding

Bulan ini, sampai hari ini tiga orang lagi sahabatku mengumumkan untuk mengikatkan dirinya dalam pernikahan. Tentu saja mereka tidak mau menunda pernikahannya sampai aku pulang…

Jadi ingat…beberapa tahun yang lalu ketika ada yang tanya kapan aku berencana untuk menikah, aku dengan PD-nya menjawab 25. Ternyata, sekarang di usia 26 aku belum apa-apa, nggak ada persiapan, bahkan calonnya pun ngga ada. Semakin banyak wawasan dan pemikiran, semakin banyak pertimbangan. Ya itu tadi, pengalaman hasil pekerjaan sehari-hari, teori-teori tentang feminisme kesetaraan dan perjuangan melawan patriarki yang mendarah daging mau tidak mau membuatku jadi lebih banyak pertimbangan dalam mengevaluasi hidupku termasuk hubungan-hubunganku. Jadi ingat juga..dulu waktu aku memutuskan untuk melamar kerja di LSM perempuan, seorang teman (laki-laki) berkata dengan agak sinis “nanti kamu jadi feminis, nggak mau kawin..” (waktu itu aku belum mengerti betul feminis artinya apa jadi tidak bisa menyanggah, hanya senyum-senyum saja). Tidak, saat ini aku berani mengatakan aku tidak anti perkawinan, tidak juga fobia terhadap perkawinan, tapi bahwa saat ini itu masih jadi hal gelap buatku, iya.

Seorang perempuan, entah mengapa sepertinya dianggap nggak lengkap dan kurang beres ketika tetap single ketika mencapai usia tertentu. Ada seorang teman laki-laki yang begitu giatnya berusaha mencarikan “jalan” untuk teman-teman perempuannya yang masih single. Kadang menyebalkan juga jika berhadapan dengan orang-orang (terutama laki-laki) yang menganggap semua perempuan yang single adalah dalam posisi “available” dan “sedang mencari”.

Seorang perempuan, ketika datang sendirian ke suatu acara (terutama pesta pernikahan), dia akan ditanya, “kok sendirian?”, kalau dia datang dengan lawan jenis biasanya pertanyaannya menjadi “kapan menyusul?”. (Padahal ketika sudah menikah pun, ia tetap akan ditanya “kapan mau punya anak?”, kalau anaknya sudah dewasa, “kapan anaknya menikah?”). Saking sebalnya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, seorang sahabatku pernah berikrar, dia tidak akan datang ke pernikahan sebelum ia sendiri menikah, kecuali jika yang menikah adalah sahabat dekatnya.

Seorang teman juga sebut saja F, dengan lantang mengatakan bahwa ia tidak pernah, dan tidak akan pernah datang ke pernikahan. Konon ini disebabkan karena ia meyakini bahwa pernikahan (heteroseksual) adalah institusionalisasi kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga dan poigami adalah contoh yang paling nyata. Ekstrim juga sih…tapi bukankah memang kecenderungannya begitu di masyarakat kita saat ini? Perkawinan bagaikan peti Pandora seperti dalam dongeng yang jika dibuka akan menimbulkan banyak persoalan dan kesusahan, khususnya bagi perempuan, di luar sisi-sisi baiknya tentu saja.

Sejak upacara pernikahan, perempuan ditempatkan sebagai pelayan suami, bisa dilihat dari upacara adat dimana suami akan menginjak telur ayam dan si istri harus membersihkan kakinya (untuk hal ini bahkan temanku yang sudah sangat fasih bicara soal gender masih nggak berkutik ketika diharuskan melakukan ini saat menikah). Kemudian dalam khotbah nikah yang standard, selalu yang diketengahkan adalah konsep “istri soleha”, kewajiban istri untuk selalu menyenangkan dan melayani suami, tidak boleh melawan, menjadi ibu yang baik untuk anak-anak dan sebagainya.

Perempuan yang menikah, mengalami pengaburan identitasnya sebagai pribadi, disebut sebagai istri suaminya, ibu dari anaknya. Filsuf feminis Gadis Arivia sering mengulas masalah ini dalam berbagai forum, bagaimana gigihnya ia memperjuangkan agar perempuan dihargai sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai pelengkap dari makhluk lain, yang biasanya berjenis kelamin laki-laki.

Perempuan, istri karena kondisinya yang dalam budaya patriarki dipandang subordinat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Jumlahnya begitu banyaknya sampai dalam setahun kantorku yang hanya lingkup Jabodetabek saja menerima lebih dari 4oo kasus di tahun 2006. Itu saja bisa dibayangkan, berapa banyak sih orang yang tahu kantorku?

Sahabat-sahabatku yang telah menikah itu, telah mengambil langkah besar dalam hidupnya. Tidak hanya soal pernikahannya, tapi juga apa yang menjadi eksesnya. Misalnya yang paling gampang, seorang sahabatku memilih menemani suaminya untuk berkumpul dengan teman-teman suaminya daripada menemui sahabat-sahabat dekatnya yang sudah lama nggak ketemu (jujur hal ini membuatku patah hati juga). Seorang teman merelakan mimpinya untuk kuliah di luar negeri demi tidak meninggalkan suaminya tercinta. Teman yang lain merelakan suaminya untuk lebih dulu ikut pendidikan karena mereka tidak mampu membayar untuk mereka berdua suami istri. Tiga temanku meninggalkan pekerjaannya yang cukup baik di sebuah lawfirm, perusahaan multinasional dan kantor notaris demi lebih fokus mengurus anak. Temanku yang lain meninggalkan karirnya yang sedang menanjak di Jakarta demi mengikuti suaminya yang bertugas di daerah, dan kemudian menjadi full time housewife.

Seorang perempuan yang sangat kukagumi kecerdasan dan kiprahnya meninggalkan karirnya di kepolisian ketika suaminya naik pangkat, menjadi kepala di suatu unit tertentu. Ternyata hal ini sudah jadi hukum tidak tertulis di kepolisian (dan aku pikir di tentara juga) bahwa jika suami istri bekerja di kepolisian dan suaminya mencapai jabatan tertentu, istrinya diharapkan (diharuskan sebenarnya) mengundurkan diri karena harus menjadi ketua Bhayangkari, organisasi bagi istri-istri polisi di unit yang dipimpin suaminya tersebut. Meskipun mereka begitu lantang menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di berbagai forum, tetap saja mereka tidak berkutik dengan kewajiban tersebut. Tragis.

Minggu lalu aku membaca sebuah artikel tentang Michelle Obama, istri Barack Obama yang semoga saja bisa jadi Presiden kulit hitam pertama di AS. Seorang wanita yang cerdas, termasuk satu diantara sangat jarang perempuan kulit hitam yang bisa kuliah di Princeton University, punya karir yang sangat baik. Tapi jika nantinya ia akan jadi ibu Negara, tentunya dia diharapkan melepaskan semua itu, dan memulai aktivitas seperti ibu ketua darma wanita pada umumnya. Hal ini menjadi dilema untuknya karena semenjak dewasa dia tidak pernah menganggur. Dia mengakui bahwa sejak dia melahirkan anak pertamanya beberapa tahun yang lalu, ia telah mengalami perdebatan dalam dirinya, mempertanyakan apakah ia menjadi orangtua yang baik bagi anaknya, apakah dia harus berdiam di rumah, apakah dia dapat bertahan berdiam di rumah,bagaimana menyeimbangkan antara karir dan keluarga dan sebagainya. Apalagi nanti jika ia menjadi ibu negara, dimana dia akan dibebani dengan berbagai peran seremonial sebagai pendamping sang kepala negara. Padahal, ketika Indonesia punya Presiden perempuan, tidak ada yang mewajibkan suaminya untuk menghentikan aktivitasnya untuk mendampingi ibu Presiden kemana-mana.

Mereka, perempuan-perempuan yang cerdas dan potensial menenggelamkan dirinya menjadi sekedar Nyonya B (nama suaminya) dan mamanya C. Tapi tentu saja, itu pilihan mereka. Aku tidak bisa menjudge mereka sebagai orang yang tertindas, karena mungkin saja mereka dengan sangat sadar, ikhlas mengambil pilihan tersebut. Akan tetapi, apakah mereka sempat berpikir bahwa mereka punya pilihan? Apakah suaminya memberikan pilihan? Apakah hal-hal tersebut sudah mereka bicarakan sebelum mereka memutuskan untuk membina rumah tangga? Apakah dalam memutuskan hal tersebut mereka dalam kondisi yang setara dengan suaminya? Pun, jika suami mereka memberikan pilihan, apakah keluarga dan masyarakat mendukung pilihan mereka tersebut? Kenyataannya memang masyarakat masih sangat patriarkis, dan itu juga yang membuat masih banyak perempuan yang tak berdaya melawan.

Kesetaraan dalam rumah tangga sepertinya masih jadi mimpi untuk banyak perempuan. Perempuan yang memilih untuk bekerja, baik sebagai ekspresi dirinya maupun kerena tuntutan ekonomi keluarga (defaultnya tetap suami yang bekerja sebagai pencari nafkah utama) masih harus mengalami beban ganda. Tanggungjawab terhadap kelangsungan rumah tangga dan anak-anak tetap ditimpakan pada istri. Suami selingkuh, poligami, atau melakukan kekerasan istrinya juga yang disalahkan “kamu sih kerja terus, suamimu kan merasa diabaikan”, “kamu sih terlalu sibuk nggak ngurus diri sendiri sampai suamimu berpaling” (kalau yang ini aku ingat sekali pernah dikatakan oleh seorang jaksa perempuan yang menangani salah satu kasus KDRT yang aku dampingi). Begitu juga kalau sampai ada apa-apa dengan anaknya, nilai raportnya jelek, ketahuan menggunakan narkoba dan sebagainya, ibunya juga yang akan disalahkan. Hal ini juga dilanggengkan lewat berbagai media, dimana soal mendidik anak masih masuk dalam segmen “perempuan”. Padahal, tanggungjawab itu seharusnya dipikul bersama, menikah nya juga sama-sama, menghasilkan anak juga sama-sama.

Yang harus dicerahkan memang bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki dan seluruh masyarakat.

Aku pernah terlibat pembicaraan dengan seorang teman yang memiliki ide membentuk “wedding organizer berperspektif gender” yang sudah pernah beberapa kali dipraktekkan. Hal ini berawal dari kegeraman menyaksikan ritual perkawinan yang sangat konservatif, patriarkis dengan segala dogma klasik tentang peran suami istri. Ide yang sangat bagus menurutku. Misalnya, dari undangan dan sebagainya mulai diperkenalkan ayat-ayat tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, yang juga dengan konsisten kemudian dikuatkan ketika ceramah perkawinan dan segala aspek dari acara tersebut. Memang bukan solusi, tapi sebagai salah satu dari banyak jalan. Menarik juga mendengar bahwa ada pejabat KUA yang ketika menikahkan memberitahukan bahwa sekarang sudah ada UU PKDRT sehingga tidak boleh ada lagi kekerasan dalam rumah tangga. Tapi masalahnya memang masih sangat panjang perjalanan untuk membuat masyarakat mengerti bahwa kekerasan itu bukan cuma yang bersifat fisik, tapi juga seksual, psikis dan ekonomi.

Sunday, May 13, 2007

Adam and Steve, Wati dan Tini

“It’s Adam and Eve, not Adam and Steve!” aku selalu ingat kalimat itu dari adegan film Philadelphia, ucapan seorang demonstran kepada tokoh Andrew Beckett, orang dengan HIV/AIDS yang homoseksual ketika ia baru keluar dari pengadilan menggugat pemecatan yang dilakukan oleh bosnya. Adegan itu adalah gambaran kebencian masyarakat terhadap kaum homoseksual, yang sedikit banyak membuat tokoh yang diperankan Tom Hanks itu dianggap sedikit banyak layak untuk menderita penyakit mematikan tersebut.

Dan ternyata mungkin kalimat ini juga yang menginspirasi pembuat film ketika tahun kemarin beredar film berjudul “Adam and Steve”, yang benar, bercerita tentang pasangan gay yang akhirnya menikah.
Di Indonesia, beberapa tahun yang lalu ada kabar di Sulawesi entah kota apa, ada beberapa pasangan lesbian yang hidup bersama dilaporkan oleh warga sekitar ke kantor polisi karena dianggap meresahkan. Dikhawatirkan mereka akan memberikan pengaruh buruk bagi anak-anak di lingkungan tersebut. Mereka memang tidak dihukum, tapi hanya diberi “pengarahan”. Saat itu aku cuma bisa bersyukur, karena kemungkinan terburuknya bisa aja mereka diarak bugil atau dibakar karena dianggap penyakit masyarakat.

Ada kasus juga dimana seorang lesbian dilaporkan melakukan “statutory rape” karena pasangannya adalah seorang perempuan di bawah umur.

Awal tahun ini seorang teman di Aceh mengalami hal yang sangat mengerikan dan traumatis ketika digrebek masyarakat di kamar kost ketika bersama pasangan gay nya. Dia dan pasangannya mengalami penyiksaan, pelecehan seksual dan perendahan martabat dan harga diri yang luar biasa dari polisi setempat. (Selengkapnya bisa dilihat di website nya Arus Pelangi). Saat ini polisi-polisi tersebut konon sudah diproses disiplin di dinasnya. Semoga saja proses pendisiplinan itu tidak mengaburkan akar permasalahannya, yaitu kebencian dan diskriminasi terhadap LGBT, yang dilakukan atas nama penegakan moral dan syariah.

Televisi juga ikut menyebarkan kebencian pada homoseksual. Pernah ada tayangan televisi dengan judul “Azab Homoseksual” menceritakan pasangan gay yang mengalami penyakit mengerikan sebagai akibat dari perilaku seksualnya.

Ada teman yang pernah bilang kalo homoseksual itu menular, jadi kalau kita bergaul dekat dengan orang yang homoseksual lama-lama kita akan jadi homoseksual juga. Mungkin inilah sumber ketakutan masyarakat terhadap homoseksualitas. Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat menceritakan ketakutan temannya (laki-laki) setelah berkenalan dengan seorang openly gay yang secara spontan mau memeluk dan mencium pipi kiri dan kanannya, yang kalau menurut orang itu tindakan biasa saja. Ketakutan tersebut kemudian berlanjut ketika kemudian teman yang gay ini terkesan berniat mengenal lebih jauh.

Di lain pihak, kelompok homoseksual yang biasanya menggabungkan diri dengan sebutan LGBT - terdiri dari kaum Gay, Lesbian, Biseksual dan Transgender (kadang juga disebut transvestite, waria atau riawan), sekarang tambah IQ (Interseks dan Queer) saat ini mulai menunjukkan perjuangan untuk memperoleh pengakuan. Kelompok ini masuk dalam salah satu dari 12 kelompok khusus yang rentan diskriminasi di Komnas HAM. Sudah ada beberapa lembaga yang secara terbuka menyatakan bergerak dalam pendampingan atau pengorganisasian bagi mereka. Sedikit banyak, ini juga yang mempengaruhi semakin banyaknya kaum homoseksual yang menjadi terbuka dengan orientasi seksualnya dan berjuang bersama komunitasnya.

Para pegiat HAM saat ini berusaha melakukan judicial review untuk UU Administrasi Kependudukan yang baru disahkan, yang seharusnya bisa menjadi harapan bagi kaum LGBT untuk mendapatkan pengakuan. Wacana tentang perkawinan sejenis sudah mulai diperkenalkan, meski aku sangat yakin masih akan sangat lama sampai bisa dilegalkan, karena saat ini pernikahan antar agama saja masih diributkan dan nggak selesai setelah diperdebatkan puluhan tahun. Amandemen undang-undang perkawinan juga entah kapan bisa dibahas di DPR. Aktivis juga mengadvokasinya lewat RUU Pencatatan Sipil yang entah kapan selesainya. Kasihan juga, hidup bersama tanpa nikah nggak boleh, nikah juga nggak boleh. Sepertinya sudah banyak pasangan homoseksual yang menikah di luar negeri. Ada juga yang menikah di Indonesia dengan cara yang agak “purba”, hanya menyatakan komitmen satu sama lain dengan disaksikan oleh masyarakat hukum adatnya, teman-teman komunitas sesama homoseksual. Tidak ada perlindungan dan ikatan hukum. Padahal, suatu pernikahan, terlepas dari tercatat, legal atau tidak, merupakan suatu perikatan dalam hukum keluarga yang pasti akan menimbulkan akibat. Akan tetap ada permasalahan harta bersama, akan ada masalah pengasuhan anak (jika kemudian mereka punya anak-banyak pasangan homoseksual terutama di luar negeri yang mengadopsi anak atau ikut program bayi tabung), waris dan wasiat ketika salah satu pihak meninggal dunia... Belum lagi kalau ada permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pasangan. Kasus KDRT ini konon banyak dialami oleh pasangan homoseksual terutama lesbian, akan tetapi tidak ada perlindungan hukumnya. Pun ketika ada seorang lesbian yang mengadukan kekerasan yang dilakukan pasangannya, pihak aparat penegak hukum masih akan dengan perspektif moralnya sendiri menyalahkan si korban kenapa bisa jadi homoseksual.

Aku pernah diajak diskusi oleh beberapa teman yang membuat draf perjanjian “domestic partnership” untuk pasangan homoseksual yang akan menikah, untuk sedikit banyak melindungi para pihak yang mengikatkan diri. Dilematis juga, karena di satu pihak ada asas “kebebasan berkontrak”, di pihak lain ada juga syarat perjanjian adanya “sebab yang halal”, yang sayangnya pernikahan ataupun yang mereka sebut “domestic partnership” tersebut masih merupakan hal yang tidak halal di mata hukum Indonesia. Akhirnya kemungkinan terburuk ya itu hanya akan menjadi seperti hukum adat, keberlakuannya sangat tergantung oleh komitmen para pihaknya dan penegakan hukumnya hanya bisa dilakukan oleh masyarakat hukum adatnya, komunitas nya, yang hanya akan berupa sanksi sosial kepada yang melanggar. Kalau di Philipine seorang temanku yang aktivis lesbian bilang perkawinan homoseksual tidak diperbolehkan akan tetapi mereka bisa mencatatkan “domestic partnership” atau "civil union" di catatan sipil.

Di Indonesia juga sempat beredar film “Detik Terakhir” yang kontroversial dan menuai protes, tapi akhirnya menganugrahkan piala citra bagi Cornelia Agatha, yang berperan sebagai pecandu narkoba yang lesbian. Bersyukur juga film tersebut tidak dicabut dari peredaran seperti BCG, mungkin karena didukung Badan Narkotika Nasional sebagai bagian dari usaha pemberantasan narkoba. Film itu, setahuku adalah film Indonesia pertama yang menampilkan homoseksualitas (lesbian) secara terbuka dengan sudut pandang yang tidak negatif.

Di dunia internasional, bulan Maret lalu di tengah sidang Dewan HAM PBB diadakan peluncuran “The Yogyakarta Principles on Sexual Orientation and Gender Identity” (YP). Disebut begitu karena YP ini adalah hasil dari sebuah high level expert meeting yang diadakan di Yogyakarta tahun kemarin, melibatkan ahli hukum internasional dari berbagai Negara dan pakar soal LGBT. YP ini memuat prinsip-prinsip dasar tentang hak dan pedoman untuk perlindungan HAM berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender, dengan harapan ke depannya YP ini bisa berkembang menjadi suatu deklarasi atau kovenan internasional, atau setidaknya menjadi acuan bagi pembuat kebijakan dalam hal berkaitan dengan LGBT. Ternyata, organizer dari YP ini adalah dua organisasi dimana aku magang saat ini di Geneva, ISHR dan ICJ.

Implementasinya pasti nggak akan mudah, karena sampai saat ini homoseksual memang masih jadi deviant di masyarakat. Anggapan mainstream adalah bahwa manusia defaultnya adalah heteroseksual seperti dicontohkan oleh Adam dan Hawa (Eve), kalau ada yang jadi homoseksual atau biseksual itu adalah penyimpangan. Oleh karena itu masyarakat akan selalu berusaha “menyadarkan” orang-orang tersebut supaya kembali jadi hetero. Misalnya, G - sebut saja begitu, seorang mantan pedila (perempuan yang dilacurkan) di Prumpung menceritakan bahwa ketika orangtuanya tahu ia lesbian, ia dipaksa menikah dengan laki-laki yang belakangan diketahui adalah pelaku kekerasan. KDRT yang dialami itulah yang akhirnya menyebabkan ia kabur ke Jakarta dan menjadi pedila. Sebaliknya, banyak juga laki-laki yang baik dipaksa atau tidak, menikah dengan perempuan sebagai pelarian atas homoseksualitasnya. Dan kembali, perempuan yang menjadi istrinya menjadi korban karena dinikahi hanya untuk status suaminya di masyarakat sebagai seorang heteroseksual, sementara di belakang ia tetap berhubungan dengan sesama jenisnya. Tidak jarang si perempuan ini juga akan menjadi korban kekerasan dari suaminya itu, dan juga akan jadi orang yang disalahkan oleh pihak keluarga jika sampai ketahuan bahwa suaminya masih saja gay meskipun sudah menikah.

Kalau mau bicara HAM, tentu saja setiap orang punya hak untuk punya pasangan hidup, mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri, mencintai dan dicintai termasuk juga untuk menentukan orientasi seksualnya. Tapi untuk konteks masyarakat, selalu aja dibenturkan dengan pendapat bahwa penggunaan HAM nggak bisa mengganggu hak asasi manusia lain, harus selalu sesuai dengan nilai budaya yang berlaku di masyarakat setempat dsb.

Sejujurnya, aku sendiri masih kebingungan dengan segala tentang seksualitas dan orientasi seksual. Aku sendiri pernah mencoba mempertanyakan kehetero-anku setelah membaca artikel tentang ‘lesbian possibility’ dari seorang feminis. Dalam artikel itu disebutkan bahwa pada dasarnya semua orang punya kecenderungan untuk tertarik dengan sesama jenisnya, akan tetapi dengan ideologi patriarki yang menghegemoni maka kemungkinan tersebut dihilangkan, terjadi apa yang disebut sebagai “compulsory heterosexuality”. Manusia, terutama perempuan sejak kecil ditanamkan bahwa hanya ada satu orientasi seksual, yaitu heteroseksual, dan yang menyimpang dari itu adalah dosa, terkutuk, abnormal. Dan maka dari itu, penting untuk mempertanyakan kembali, apakah kita menjadi heteroseksual dengan sadar? Apakah kita menyadari bahwa ada orientasi seksual yang lain?

Banyak teori tentang bagaimana orientasi seksual itu terbentuk, bisa aja karena pengaruh pengalaman hidup, entah trauma karena kondisi keluarga, pengalaman masa lalu yang buruk dengan lawan jenis dsb. Atau ada juga yang diistilahkan sebagai “lesbian ideologis” (atau lesbian feminis?) menjadi lesbian (homoseksual) karena kesadaran dan perlawanan atas patriarki, termasuk compulsory heterosexuality. Bisa juga by nature secara kodrati, nggak ada pengalaman hidup atau alasan ideologis tiba-tiba jatuh cinta atau punya ketertarikan dengan sesama jenis.

Aku, yang sampai saat ini sangat yakin dengan kehetero-anku, setidaknya sampai saat ini masih percaya pada cinta. Hubungan apapun, hetero ataupun homo basisnya musti cinta, dari hati. Itu masalah hati, dan cinta itu kan buta (sebenarnya bukan buta, kalaupun melihat tapi nggak peduli), tuli dan juga bodoh. Dan kalau hati sudah bicara tentu aja nggak akan memandang ideologi, pengalaman hidup, jenis kelamin, rupa, status, SARA. Jadi ya, aku percaya bahwa orientasi seksual ditentukan oleh hati, kodrati dari sononya. Dan itu emang bisa berubah, namanya juga hati. Meskipun mau dipenjara, dikutuk orang sekampung, diarak bugil, dirajam, atau diapakanpun, nggak ada yang bisa merubah hati, kecuali yang hati itu sendiri (yang punya hati aja kadang ngga bisa mengendalikan hatinya, makanya AA Gym sampai buat lagu Jagalah Hati, itu juga mungkin yang membuatnya pada akhirnya nggak bisa menahan diri untuk berpoligami).

Kalau mau bicara religius, Tuhan menciptakan manusia bermacam-macam agar makhluk ciptaanNya saling mengenal. Kalau dia mau, bisa aja dia ciptakan manusia heteroseksual semua. Setiap apa yang dilakukan Tuhan pasti ada maksudnya. Yang pasti Tuhan yang Maha Pengasih tidak akan menjadikan makhluknya homoseksual untuk dianiaya oleh manusia lainnya. Untuk soal agama saja, yang paling mendasar, sudah ada prinsip ‘bagimu agamamu dan bagiku agamaku’. Saatnya mungkin kita populerkan prinsip ‘bagimu orientasi seksualmu dan bagiku orientasi seksualku’ agar jangan saling mengganggu. Biarkan Tuhan menjadi satu-satunya hakim.

"If I could have one wish granted to reverse an injustice, it is for the world to end the persecution of people because of their sexual orientation, which is every bit as unjust as that crime against humanity, apartheid."
~ Desmond Tutu, South Africa ~


(Sebagian tulisan ini sudah ada di komputerku sejak akhir tahun 2005. Thanks buat teman-teman di milis womenlbtindonesia atas diskusinya. Semoga tetap semangat!)

A Different May Day


This is another souvenir from Rome. This poster really drew my attention. It's in Italian but basically it is a poster to commemorate this year May Day. It tells about the huge number of working accidents resulted in injury or even deaths of labours in Italy.

Anyway, this is a very different May Day for me. In Switzerland actually May Day has not been an official national holiday, but few companies do let their employees to have a day off during May Day. Thank God that ICJ does, although the Secretary General and some of his staff still come to the office responding to their tremendous workload. But seems it feels kind of strange to have a holiday on May Day but you just staying at our tiny apartment, instead of marching out in the streets with thousands of labours like I did for the last three May Days I have in Jakarta (I missed those things so much!). Seems like I started to think like those corporation, thinking that May Day is not a holiday, its just that if a labour involve on a rally instead of working, he or she would not be considered as absent. But that's not the idea; labours are entitled to a holiday on May Day as an appreciation to their rights and their role in the society.

I found that no labour, demonstration, protest or rallies in the streets of Switzerland, or at least in Geneva. Is this means that all labours rights here are fulfilled so they have nothing to protest for? I don’t know.

As for Indonesia, I think labours still had a long way to go to pursue their rights. The exploitation of subcontract and outsourcing labours, the sexual and reproductive rights for female labour, the standard minimum wage that is way beyond the realistic minimum needs, the discrimination of employment, the compulsory extra long working hours, and a whole lot more.

Rome Wasn't Built in A Day







I don't mean to show off or anything, just want to share you some of the things that I inspired from my journey to Rome last weekend. While we driving on a sightseeing tour in Rome with my friend, her car suddenly played this song "Rome wasn't built in a day…" Indeed, its true that here I tried to recall my memories on the ancient Rome history that I studied maybe since junior high. This is the city that has been there for thousands years, even before Christ, even before people now how to count days, month and years. And if you see Rome now, you would see how the ancient and modern civilization goes hand in hand. It’s amazing to witness what was left from those peoples of hundreds or thousands years ago. Some of them are still there, even can be utilized, like the big Pantheon that now used as church, like some other old basilicas that used to be the temple to worship ancient God and Goddess.

And as Rome wasn't built in a day, so does everything in our life. We could not expect instant result on anything that we are fighting for. The whole life itself is an ongoing process. Be sure to do the best on everything you are fighting for, and wait for the very moment when the result come out in a perfect time…and in the meantime, just enjoy the process and take the best out of everything. And even though at the end the result is not as you would expect it to be, hope you can be grateful that you have been benefited from the process, in a way or another. And one inspiring words that I used to send to motivate my friends: "Allah answer prayers in three ways, Allah could say YES and gives what you asked, Allah could say NO and give you something better, or Allah could say LATER and gives you what you asked in an appropriate time in the future".

Monday, April 30, 2007

From Geneva with a Smile

(This is an extended version of a writing that I submit to the IALDF as a contribution for their newsletter, end of April 2007)

I was proud and flattered to be chosen to join the IALDF funded joint six month internship program between the International Service for Human Rights (ISHR) and the International Commission of Jurists (ICJ) in Geneva, from January to July 2007. Geneva which houses a lot of international organizations have long become the city of interns, where hundreds of young people coming from all over the world to have an experience in one or more international organizations to pursue their future career plan in human rights field. Only a few of those organizations provide salary, a living stipend or even just a monthly bus pass to cover the intern’s transportation. So it is almost impossible for someone from developing countries (especially an NGO worker with lower middle income like me) can support their own internship in this very expensive international city. I thanked the IALDF to give me the opportunity, and hoping that in years to come, more NGO workers will be granted with this wonderful experience.

Geneva is a very beautiful city, international in its organizations and peoples. I get confused sometimes in public places such as the tram and buses, where people speaks with their own languages, but most of them speaks French, as it is the official language of Republic Canton of Geneva (although the size is so small Geneva is an independent cantonal under the Swiss Confederation). I have just known it here that Swiss has four official languages in different parts of the country-German, French, Italian and Roman-and only a few of common Swiss people I met on the streets speaks English. I have the opportunity to learn French at a language schools run by one of Geneva’s biggest supermarket chain. But seems like I am progressing very slow since that until know the only full sentence of French that I used the most still “Je ne parle pas francais” (I don’t speak French .

Geneva has a lot of beautiful buildings and parks, with the view of the snowy Alps surrounding the city. Situated in the middle of the continent it has no beach, but has a long riverside and lakeshore. The weird thing is they called it beaches (as Geneva Plage and Baby Plage- a small corner in the lakeside near the Parc des Eaux Vives furnished with sands, swings and fences to make it just like a swimming pool dedicated for children, but of course children brings their parents that also took advantage of the place). I remember the hotel in Toba which I visit in 2004 that also called its lakeshore beach. But I do enjoy a nice walk at the lakeshore and riverside, as the winds and water sparks calms my soul.

The weather is nice now that the spring has come. I have experience the coldest of winter (it reaches -10 celcius at night) standing in the bus stop at Gardiol with my fellow intern at 11pm waiting for the last bus in the middle of a heavy snow. My first snow…it was amazing to see the off white scenery but still hate the cold. Wearing at least 3 pair of clothes at a time, having influenza continuosly…But glad that it’s over! Now the average temperature is 22 celcius, still a little bit windy for me, enough to still make me want to put on my jacket every morning when I go to work. But the funny thing was these people are such a sun worshipper that this temperature is enough to make them filled the parks and lakesides on weekends, with their t-shirt off or even bikini sun bathing. Even one day I saw someone actually bring a waterspray (just like what people use in the Arabian gulf while doing haj pilgrimage) and spray it to herself and her children in the middle of street in sunny day. I thought that they should go to Jakarta, or even to Mecca to really experience the heat.

Food is relatively not a problem. As I have my own magic com to cook rice, it feels like home only that I missed my mother’s salty cook. Of course since I am never been a good cook, all I capable of is only simple stuffs. I bring my lunch to the office just like the old days in KPU few years ago (one of the reasons is to save money because the food here is very expensive, also that the meal portion here is too big). Being a muslim requires me to be careful on the food since Switzerland doesn’t have a MUI like Indonesia to give halal label. Most bread, biscuit, cakes, chips etc. contains gelatine or lecithine out of pork, also foods like pizza, sandwich and lasagna contains pork or ham in it.So I really have to be very careful in reading their labels, a little hard since most of them are in French, German and Italian. Even to buy a chicken you should question about its halal status, whether or not it butchered in Islamic way (as this once a subject in my bi-weekly Islamic sermons in the Indonesian Mission). For me now, at least I do my best to be careful on what I buy and the rest is up to Allah to decide…

Another thing about being a muslim women with the veil in my head, I get used to the strange look that people give to me. Actually they supposed to get used with women weaing headscarfes since there are so many Middle East and African muslims here, maybe just because I am an Asian? I always want to say to them “Did your mothers never tell you that it’s not polite to stare at people?” But now I get used to it, I stare back and smile to everyone that stare at me. Now I really understand what it is like to be a minority, and what is racial profiling and counter terrorism measures are all about. I experience a couple of inconveniences with the UN security guard at its Pregny Gate, the only gate at the UN with the metal detector and baggage check, actually this is a discriminatory since anyone coming with cars like the ambassadors, and permanent badge holders can use the front gate, which should have save much time and energy. Anyway few times at the Pregny Gate the guard treat me special,one day he ask for my passports, one other day he fix sticker label in my backpack. I thought it was just an ordinary routine but then I realized that my friends, the Caucasian even the Chinese doesn’t get the same treatment. At the last day of the Council I get the sticker again, I get furious and I asked them why I am getting the sticker, one of them said that it was only because of my bag is big. I told them that my friend also has a big bag and why she does not get the sticker, and the man said “OK, I give your friend the same sticker, are you satisfied now? It’s just a routine…not a big deal.” Of course I am not satisfied with the answer, and as I already have a conversation about this topic with my (now former) Manager at the ISHR, I tell her about it and she said that she will make sure that on behalf of NGOs they will question the UN secretariat about the discriminatory treatment.

One thing about the very famous Swiss cheese fondue…that a Swiss friend called it “the Swiss religion”. That one night at Gardiol at this friend’s house, I with a few of ISHR’s interns are fondue-ing. Fondue actually is just a hot melted cheese cooked mixed with garlic and wine, and then you dip bread croutons into it. Of course for me he made a special one, non alcohol and no garlic (because I hate the smell), it turns out that it has no taste at all and it made me nauseaus.

But the nice thing is that in spite of all the things so expensive in Geneva, only chocolate that is cheaper here comparing to Indonesia. And they are good chocolates too, and I have the obsession to taste every kinds of chocolate on sale in the supermarket, starting from the cheapest that only priced 30 cents.

In my first three month with the ISHR I was join the United Nations Monitoring Team, where I have the opportunity to learn and observe the UN human rights mechanism in practice. I was assigned to monitor and report back on various meetings of the Human Rights Council and its working groups. I learn a lot of new things including the new mechanism of Universal Periodic Review, which I have never heard before. I realized that all these international mechanism are not so popular in Indonesia although it should be beneficial for the works of human rights NGOs. I also have the opportunity to monitor the 70th meeting of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination, especially in the examination of two countries, Macedonia and Antigua & Barbuda.

At the 4th session of the Human Rights Council I met a lot of NGO representatives from all over the world working on various issues (including some from Indonesia who presents that time). I also join some interesting parallel meetings and workshops organized by NGOs and they gave me a broader update of recent developments on human rights all over the world, from the people that work on the issues, instead of the diplomats at the Council. I also have the opportunity to attend some of the sessions of the Advanced Geneva Training Course in International Human Rights Law and Advocacy, which organized annually by ISHR for selected experienced human rights professionals from NGOs all over the world. It was very inspiring to hear their experience and opinions from the work that they have done in their countries, like Zimbabwe, Sudan, Palestine, and the Occupied Syrian Golan.

In my last three month internship with the ICJ I get more sense of applying human rights on the ground, as I am interning with ICJ’s Asia Pacific Programme, which mainly dealt with human rights situation in the South and South East Asia including Indonesia. My internship with the ICJ has also broaden my network, as the ICJ has commissioners, sections and affiliates in more than 70 countries worldwide.

I was amazed on how international organizations make the best use of information technologies to enhance their work, something that I always dreamed to happen in Indonesia. Wide range of information is available in their websites, very comprehensive and always updated. Especially for ISHR which aimed to give information as services for NGOs in the regions that has limited access to the UN. I always compare it to the condition in Indonesia where not enough resources devoted to this sector. Even the ICJ has complaining that they have the trouble to seek information about Indonesia, not only because of limited information available in English in the web, also the fact that the NGO websites are not updated regularly. Even if they wrote an e-mail asking for those information, only few of them get an immediate response. Maybe the language and also the lack of culture of making the best use of information technology remains as problem for Indonesia.

And as bonuses from the experience, I also met new friends, from the offices that I am intern with, NGOs that I met during the human rights meetings, and also Indonesian living in Geneva. I make friends with a lot of Indonesian at the bi-weekly Islamic sermons.

One night I also invited to a dinner with the Indonesian Ambassador for the UN and the UN-Indo Jenewa, a network of Indonesian working in international organizations in Geneva. It turns out to be a dinner to welcome the head of the Indonesian Investment Coordination Agency (BKPM). I was a little bit disappointed because I thought it was organized in relation to the Human Rights Council that will take place few days after. I have been thinking why does this dinner had to happen, and finally I get the idea when the honorable guest made his speech, he stated that he hope that Indonesian working in international organizations could be “ambassadors” for Indonesia, maintaining Indonesia’s good reputation in order to get the international (investors) trust. And he also reiterates his wish to me when we shake hand at the end of the night. Actually I think he remember me the most because I was the only one stating something negative.

This is what happens. I get a little furious when he stated that that infrastructure and the high cost labour are among the biggest obstacle of investment in Indonesia. Then I took the floor and spoke about Presidential Decree (Perpres) 36 about Land Procurement for Public Needs and its judicial review (which I am proud to be a part of it), forced evictions of the poor in the name of “public need” and the condition of labour which is far from being well and prosper. And he responded in a way that I must admit very brilliant and concise, but of course in a perspective of an investor and businessman. And of course because I already have my own mindset, it doesn’t satisfy me, but I realize from the beginning that’s what the man do for a living and no way that a statement from someone like me could change his perspective. I only concern that these Indonesian working in international organizations seems like loosing connection to what happen on the ground.

Anyway, remembering the BKPM man’s statement, I only hope that with my being in Geneva I can also be the “ambassador” for Indonesian NGOs and peoples, helping them in relation to access the international organizations here in Geneva. I always trying to spread any information, publications, and capacity building opportunities in relation to human rights that I received to my NGO and activists networks in Indonesia. I also going to try to take Indonesian cases that might be a concern of the ICJ, as I am trying to do now with a case of an NGO worker sexually tortured by the Aceh Police.

And another good thing resulted from this experience is that now I have the eagerness to continue my study for a postgraduate level, either in international human rights, international criminal law or international labour law. Peoples I met during this internship are finishing their postgraduate study in an age as young as 23, which is not common in Indonesia. For someone working in NGO like me, it usually took at least 3 years after finishing graduate studies one could continue to postgraduate. Either to save enough money to fund highly expensive postgraduate study fee in Indonesia, or to have enough working experience as a requirement to apply for a postgraduate scholarship abroad. I used to think that as a practicing lawyer (in an NGO, moreover) I would not need any postgraduate degree. Now I realize that human rights and international law is not just about the Universal Declaration of Human Rights, laws and instruments but a very broad and interesting field to explore. Meeting these young people inspires me to also continue my study, not for a prestige, or just to make my price higher, but as a form of public accountability, reassurance of the quality of service that I am about to give to the public.

Resolusi 26 Tahun

(Ini seharusnya diupload bulan Februari lalu-tapi nggak selesai…menunggu mood...akhirnya...baru hari ini bisa diupload, sudah mengalami beberapa perubahan seiring berjalannya waktu)

26 tahun! Sudah lebih dari seperempat abad…apa yang sudah kulakukan terhadap hidupku? Apa yang belum kulakukan?

Untuk pertamakalinya dalam hidupku aku merasa tua. Agak aneh juga...mungkin juga salah satunya karena disini dikelilingi oleh orang-orang yang jauh lebih muda yang begitu cerdas dan potensial juga melihat diri sendiri yang makin tua tapi masih seperti ini. Waktu aku ulang tahun, untuk pertama kalinya aku agak malas menjawab ketika ada yang tanya umurku berapa, dan hanya menjawab 'twenty something'. Tapi kemudian ya jujur juga, karena nggak ada gunanya juga ditutupi. Komentar manager ku di ISHR adalah 'that is disgustingly young!' seharusnya itu artinya bagus.

Aku masihlah perempuan yang sama. Masih self centered, narsis dan sendirian. Harus buat resolusi untuk jadi lebih baik.

Saat ini, berada di belahan bumi yang lain. Untuk pertama kalinya dalam hidup hidupku tinggal di luar keluargaku dan bersama orang lain selama 6 bulan sampai Juli 2007. Saat ini ku menjalani program magang di dua NGO internasional yang cukup ternama di Geneva (funded internship tentu saja, karena bagaimana mungkin dengan gajiku yang hanya skitar 200 CHF kalo pake uang sini-sementara untuk sekali makan rata-rata butuh 10 CHF- bisa nyampe kesini). Sesuatu yang harus selalu kusyukuri, karena banyak orang yang menginginkan berada di posisiku saat ini. Aku belajar banyak banget disini, Semoga juga ketika nanti aku balik ke Jakarta apa yang aku pelajari bisa dipraktekkan, minimal disebarkan seluas-luasnya kepada yang bisa mempraktekkan, biar nggak menguap begitu saja. Suatu tanggung jawab yang besar juga, mengingat dana yang dikeluarkan untuk membawaku ke sini dan biaya hidup yang demikian luar biasa mahalnya disini jika dihitung secara rupiah, dan dibandingkan dengan kebutuhan keluarga miskin yang kelaparan dan serba kekurangan, korban banjir…hmm…aku harus selalu mengingat hal ini setiap kali mulai merasa malas…aku harus membuktikan bahwa dana sebesar itu worth it dihabiskan untukku. Aku harus jadi lebih berguna dan mengaplikasikan skill yang kudapat disini untuk kepentingan rakyat yang lebih besar. Aku harus menjadi lebih berarti.

Kapal bocor hampir karam yang aku tinggalkan selama enam bulan ini di Jakarta, saat ini sudah mendapatkan nahkoda baru. Semoga mampu menerjang gelombang, dengan awak yang tersisa yang tidak tergoda untuk mencari sekocinya masing-masing untuk menuju kapal lain. Sejumlah kecil teman-teman dengan semangat dan idealisme yang saling mendukung, yang juga membuatku jadi lebih optimis kapal ini akan bertahan. Ke kapal itulah aku akan kembali..

Saat ini aku tetap niat untuk jadi advokat yang konsisten dengan bantuan hukum (sudah lulus ujian alhamdulilah, sudah dapat kartu sementara juga, tinggal nunggu verifikasi magang dan pengangkatan, smoga bisa tahun ini…) meski gajinya hanya sekedar layak untuk manusia lajang. Sementara teman-temanku telah memantapkan pilihan karirnya. Hakim, jaksa, PNS, diplomat, advokat di lawfirm besar, corporate legal, konsultan...bahkan wakil direktur. Sementara aku berhenti mengikuti rekrutmen karena merasa telah menemukan jalanku. Menjadi advokat bantuan hukum, yang menurutku adalah satu-satunya pekerjaan yang paling sesuai dengan misi hidupku, dan yang terpenting membuatku nyaman menjalaninya karena memberikan tingkat kebebasan yang aku inginkan. Pilihan yang mengandung konsekuensi…dimana saat ini teman-temanku yang bekerja di tempat lain sudah mencapai tingkat kemapanan finansial.

Saat ini aku bersyukur, aku telah bisa menjalani sebagian mimpiku, pekerjaan yang aku inginkan dan aku banggakan sebagai ekspresi diriku, keluarga dan cukup banyak teman yang memperhatikan dan menyayangi aku. (Ironisnya, ini mulai terdengar seperti lagunya The Corrs “All the Love in the World”). Aku bersyukur memiliki jaringan pertemanan yang cukup luas dan orang-orang yang mempercayai aku.

Katanya untuk bisa memotivasi diri kita menjadi lebih baik, kita harus memvisualisasi apa misi dan visi hidup, setiadaknya apa yang ingin kamu lihat dari dirimu nanti. Cara termudah untuk melakukannya adalah dengan membayangkan, kamu sudah meninggal dan siap untuk dimakamkan, dan di acara pemakaman tersebut orang-orang yang mengenalmu akan berbicara tentang apa yang diingat tentang dirimu. Hal ini juga pernah ditanyakan ketika aku mengikuti training effective teamwork beberapa bulan yang lalu.

Apa yang aku inginkan orang-orang ingat dari diriku ya? Hmm..mungkin aku ingin diingat sebagai orang yang suka menolong, perhatian dan penuh kasih sayang pada orang-orang di sekelilingku, idealis, pemberani, tangguh, seorang manusia pembelajar dan pejuang yang tak pernah berhenti memperjuangkan keadilan … aku juga ingin dalam hidupku yang singkat ini bisa menyentuh hati orang lain dan dengan suatu cara menginspirasi mereka untuk melakukan sesuatu yang baik.

Tentang rencana hidup, saat ini aku mulai fokus dan semangat dengan rencana melanjutkan studi. Harus tahun depan, mumpung masih semangat dan belum ada suatu hal yang bisa membuatku berpikir dua tiga atau empat kali. Semoga sebelum tahun depan tiba aku sudah mendapatkan beasiswa S2 di luar negeri untuk S2 HAM, hukum pidana atau hukum perburuhan internasional. Kalau memang nggak dapat, semoga saja hasil berhemat disini cukup untuk S2 di UI. Secara S2 di luar maupun di UI punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Kalau S2 nya di UI, mungkin aku masih bisa working part time di kantorku di Jakarta. Mungkin dalam sekitar 3-5 tahun ke depan aku masih akan kerja di LBH atau LSM apapun dimana aku masih bisa menjadi advokat bantuan hukum. Entah berapa lama lagi aku masih akan di tempat ini, atau mungkin berpindah pada lembaga dengan isu lain, mungkin lingkungan atau perburuhan atau kemiskinan.

Setelah sampai di Geneva, jadi terpikir juga untuk bekerja selama setahun di NGO internasional di dalam atau luar negeri setaelah kelar S2 hanya sekedar untuk mencari modal untuk bikin kantor sendiri. Tapi mudah-mudahan sih jangan sampai, aneh juga “menjual diri” seperti itu hanya untuk uang.

Ya, mimpiku adalah punya kantor sendiri, sebuah LBH atau mungkin jika belum mampu ya sebuah kantor hukum dengan subsidi silang, supaya aku bisa tetap memberikan bantuan hukum pro bono. Kantorku itu akan ada di dekat rumahku sendiri, supaya I don’t have to miss a thing about my children (tapi bagaimana mungkin …, calon bapaknya aja belum ketemu). Mungkin nggak di Jakarta, setidaknya di Tanggerang atau Kepulauan Seribu paling dekat (kalau yang ini sih khayal banget…kantor sekaligus rumahnya di pinggir laut, punya dermaga sendiri dan halaman yang luas, jadi bisa lihat sunset, dan kalau malam bisa buat menghitung bintang…).

Harus banyak belajar! Harus lebih cerdas baik secara keilmuan, emosional maupun spiritual. Menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarku (gaya hidup, budaya, kebiasaan,dan karakter masing-masing orang-tapi tetap jadi diri sendiri dong!). Memperdalam agama lebih baik lagi (salah satunya supaya aku bisa punya pemahaman komprehensif, bisa memberi argument yang tepat atas segala isu dan permasalahan terkait agamaku dan hal-hal kontroversial yang aku advokasi-misalnya aja LGBT, hak reproduksi…). Belajar hukum lebih dalam lagi supaya minimal aku bisa punya spesialisasi dalam satu subject (terutama hukum internasional untuk periode internship ini, karena ternyata aku sangat ketinggalan soal ini). Bahasa Inggris (karena ternyata aku masih gagap juga bekerja, terutama harus menulis berbagai tulisan dalam bahasa Inggris). Bahasa Perancis (karena ternyata Geneva adalah kota dimana penduduknya sebagian besar berbahasa Perancis dan capek juga selalu berbahasa Tarzan kalo harus ngobrol dengan masyarakat lokal yang gak bisa nginggris…).

Harus lebih mengembangkan “portofolio sosial”. Musti punya lebih banyak teman dan mengembangkan jaringan! Terutama ketika disini di tempat yang sangat jauh dan nggak banyak yang dikenal, aku benar-benar merasakan betapa berharganya punya teman dan jaringan. Dan karena sudah sampai disini, smoga ku bisa punya international network. Nggak kalah penting aku juga harus lebih memberi perhatian dan menyayangi keluarga dan teman-temanku saat ini. Aku juga harus menjaga kepercayaan mereka terhadapku.

Dan yang terpenting sepertinya saat ini aku harus berani melangkah ke depan dan melupakan masa lalu yang tidak menyenangkan. Memang nggak gampang, tapi aku tidak akan berhenti berusaha. Seperti kata Robbie Williams dalam lagunya “…no regret, they don’t work, they only hurt…”, aku tidak akan menyesali apa yang sudah terjadi, karena apapun itu, Allah punya rencana memutuskan hal itu terjadi padaku. Dan pengalaman hidup itulah, yang baik maupun buruk, yang menjadikan aku seperti, sekarang ini (dan semoga akan selalu menjadi pelajaran untuk jadi lebih baik). Sebagai penutup, seperti biasa ini adalah lagu “Masa Lalu Tertinggal” dari Peterpan yang baru pada tanggal 11 Februari 2007 aku benar-benar mendengarkan kata per katanya:

Masa lalu tertinggal

Dua belas jari-jari memegang roda putar bumi
Terhembus sisi panikku mengetuk rasa membawaku
Disini tersenyum di satu diriku melamun
Terangi sisi gelapku merenung arah menuntunku

Sadari langkahku
Di celah bumi ku terpaku
Mencari arti hidupku yang baru relakan nafasku

Kumenunggu datang terang biarkan gelap menghilang
Bantu aku tuk menunggu roda pembawaku

Kini kubiarkan masa lalu menghilang tanpa beban aku meninggalkan belakang
Lalu kubiarkan masa lalu menghilang dan tanpa beban aku meninggalkan belakang

(Thanks buat Fan yang nyemangatin buat ngupdate blog ini lagi, tapi sumpah aku melakukan ini bukan buat alasan yang kamu sebut itu…I am not that desperate bro!:)

Thursday, February 08, 2007

Ruang Rindu


Di daun yang ikut mengalir lembut
terbawa sungai ke ujung mata..
dan aku mulai takut terbawa cinta..
menghirup rindu yang sesakkan dada..

Jalanku hampa dan kusentuh dia
terasa hangat o di dalam hati
kupegang erat dan kuhalangi waktu
tak urung jua kulihatnya pergi

Tak pernah kuragu dan slalu kuingat
kerlingan matamu dan sentuhan hangat
kusaat itu takut mencari makna
tumbuhkan rasa yang sesakkan dada

Kau datang dan pergi o begitu saja
semua kuterima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu

Kau datang dan pergi o begitu saja
Semua kuterima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu

This is another Letto’s song that sounds so right to be the theme of my life these days. Yes, you don’t miss your water till the well runs dry (this is Craig David’s song), you never realize how precious what you have until they no longer around. I’m missing my dearest people, my family, my friends… (Sunday, 28 January 2007)

Monday, January 15, 2007

Husband to Share, Anyone Interrested?

In the last few weeks, infotainment TV shows proudly announced a very hot rumour about the polygamy of one of Indonesia’s top Islamic preacher, KH Abdullah Gymnastiar or AA Gym. He used to be known as a family man to his (first) wife, Teh Ninih, and their five (or seven?) biological children, also a few of foster children. Then he made a press conference confirming his second marriage to a beautiful (she’s an ex photo model by the way), independent, smart 30 year old widow (so contrast with the depiction of polygamous wives of the Prophet Muhammad (except Aisyah): widows, age more than 60 or at least have reach menopause stage, black, extremely poor, formerly a slave, ill educated, poor, not good looking at all…)

A couple of years ago, I was a little bit confused when AA becomes one of the recipients of the “Polygamy Award” organized by Puspo Wardoyo, owner of the famous chain of roasted chicken restaurant that has seven wife, and very proud of it. AA, and other men (all of them are men!), including of course, our ex vice president HH, get the award for his success in living a polygamous marriage, or have making an effort to support it. Yes, PW said he doing it to campaigning polygamy as an Islamic way of life. By that time, AA refused to be called as an actor of polygamy, but he didn’t prohibit the act either. In a lot of events he used to say that although (he considered) that Islam legalize polygamy, he is not ready to do that because, he always says, he had a very wonderful wife, mother of his many children.

As an immediate response to the present condition, on Tuesday, December 6, SBY invite Muthia Hatta, the Ministry of Women’s Empowerment and Nazarudin Umar from the Department of Religion (also former commissioner of the National Commission on the Elimination of Violence Against Women) to the Presidential palace. The meeting later becomes the headline in all media, because it raise the issue on expanding PP 10 (national regulation concerning marriages and divorces of civil servants, that include the limitation of polygamy) so it can be applied to every citizen. Yes, it already became a national issue.

Then the fireball also reaches me. Last week I involved in a group debate at a national TV station about the issue. My group, calling ourselves the Voice against Polygamy Network (we just come up with the name because we come from different organizations and backgrounds: lawyers, paralegals, NGO activists, housewives, teacher, labor activist) were against Hizbut Tahrir, one of the largest Islamic organizations in Indonesia that proudly support the practice of polygamy. After the TV show, I received some SMSs, some of them support the struggle against polygamy, and some just expressing their opinion, and one friend actually said that she support polygamy and now doing a research to write a book about it. Well, we are still friends instead of the debate, all I can say for her is good luck because I know it is not an easy job, working with verses interpretation differences, reality, cases and human rights of women and children.

Everyone that consider themselves as human right defender will agreed that polygamy was a serious violation of women’s human right. Polygamy represents one of the form subordination and discrimination to woman, which relying on excellence / certain gender superiority to the other sexes. Polygamy legalizes marital infidelity. In reality many polygamy case triggers domestic violence against children and woman, including physical, psychical, economics and sexual violence.

Then, Polygamy became the form of domestic violence that legitimated by the belief system and law in the society. It is an acknowledgment of a gender hierarchy and a sexual privilege of men toward women. This practice is against the principle of equality, anti discrimination and also anti violence in so many existing law instruments. (such as the 1945 Constitution, Human Rights Act, CEDAW, Declaration on the Elimination of Violence Against Women)

Prof. KH. Acep Djajuli once interpret a famous adagio about Islamic marriage "your wife is your clothes and you are your wife’s clothes", which means, first, wife and husband have to guarding t each other is; both, wife and husband have to comprehending each other and also seeing through each other’s like and dislike, and third, to taking care of each other each ignominy.

The history of Islam at the time has managed to limit the polygamous culture of Arabian men that use to have dozens of wives and concubine to just four wives at a time. But the reason to have a polygamous marriage is limited. And, that time polygamy should be done as a means to help and raising the welfare and social status of widows, slaves and orphan girls. The hardest qualification that must be fulfilled by a man that planning to have a polygamous marriage is that he had to be fair to his wives to be. And of course, the term of “fairness” is not only for the material, but also for the psychological well being for the rest of the family including their children. And the Koran has also stated about the term “fair” in An Nisa: 129, that a man cannot act fairly among his wives, although he really tries to. These verse itself actually a negation for the right of a man to practice polygamy.

Too bad that until now, men in our dominant patriarchy exploit the so called right to polygamy and claim that is a ruling of Islam, and more as an Islamic way of life (of course they won’t popularize or even mention the An Nisa:129 verse as it would ruin their argument in instant).

As in Indonesia, polygamy is legalized (with a very discriminative against women limitations) in the 1974 Marriage Act. It is also legalized at the 1991 Islamic Law Compilation. Article 3 ( 1) of the Act No.1 / 1974 affirming: `At its ground in a marriage a man shall only have a wife. A woman shall only have a husband'. However, a man may conduct polygamy if he applied at the Religious Court and get its permit. The application is obliged to contain approval of his wife/wives. He is also obliged to make certain that he can guarantee its wives necessities of life and their children and also he guarantee to be fair to all of his wives and children. To give its permission, judges are obliged to call and hear the wife. But, the discriminative part was that the in approval of previous wife is no longer relevant in cases of: ( i) the wife consider to be unable to fulfill her duty as a wife (this what makes a lot of female migrant workers became the victim of polygamy while they were working abroad), or ( ii) have body handicap or irremediable disease; or ( iii) cannot bear descendant.

But then, due to the procedural hurdles to enter a legal polygamous marriage, most of the cases they just do the second, third and maybe fourth marriage only in religious way (“kawin siri’). These marriages were untouchable by the law, and no legal protection at all for the women, the first or the other wives. But, the first wife may report the husband and his other wife to the police on the crime of adultery or marriage crime (because ‘kawin siri’ is not considered as a legal marriage). But in reality, a very little of these cases succeed, because law enforcement officers not paying enough attention, weak law, hard to find evidence etc. The other problem is, how many wives are there really willing to report their husband to the police (and also risking herself to be a widow and risking her children’s future)? And even worst, a lot of men really have a discreet 2nd, 3rd or 4th and more marriages and his first wife and children have no idea about it.

The struggle against polygamy is still have a long way to go. Lays ahead are the advocacy for the revision of the Marriage Act, the revision of the Islamic Law Compilation, the new national Criminal Code. But the core struggle is to change the mainstream thoughts of men (and women of course) in this patriarchal culture, the ground of its discriminative impact against the human rights of women and children. And to let all women (and also children) know that they have the right to say no to polygamy. (Monday, December 18, 2006)

Sandaran Hati

Sandaran Hati- Letto

Yakinkah ku berdiri
Di hampa tanpa tepi
Bolehkah aku mendengarMu

Terkubur dalam emosi
Tanpa bisa bersembunyi
Aku dan nafasku merindukanMu

Terpurukku disini teraniaya sepi
Dan kutahu pasti Kau menemani
dalam hidupku kesendirianku

Teringatku teringat
pada janjiMu ku terikat
Hanya sekejap ku berdiri
kulakukan sepenuh hati

Peduli ku peduli
Siang dan malam yang berganti
Sedih ku ini tak ada arti
Jika Kaulah sandaran hati
Kaulah sandaran hati

Inikah yang Kau mau
benarkah ini jalanMu
hanyalah Engkau yang kutuju

Pegang erat tanganku
bimbing langkah kakiku
Aku hilang arah tanpa hadirMu…
dalam gelapnya malam hariku..

Teringat ku teringat
Pada janjiMu ku terikat
Hanya sekejap ku berdiri kulakukan sepenuh hati

Peduli ku peduli
Siang dan malam yang berganti
Sedih ku ini tak ada arti
Jika Kaulah sandaran hati
Kaulah sandaran hati
sandaran hati

This song from the first time I heard it few months ago become one of the theme song of my life. Just last week, in an article about the band (Letto) tells that the meaning of this song was universal. If you really hear thoroughly of this song, you’ll find that this song could even be the song about God, Allah Almighty. Yeah, it knocks my head and really makes me realize, to whom else you can always rest your heart? God is the one that will always lead your way, cheering your heart, and be the one you come to, in happiness or sorrow, the only One you should rest your hope on. (6 December 2006)