Sunday, May 13, 2007

Adam and Steve, Wati dan Tini

“It’s Adam and Eve, not Adam and Steve!” aku selalu ingat kalimat itu dari adegan film Philadelphia, ucapan seorang demonstran kepada tokoh Andrew Beckett, orang dengan HIV/AIDS yang homoseksual ketika ia baru keluar dari pengadilan menggugat pemecatan yang dilakukan oleh bosnya. Adegan itu adalah gambaran kebencian masyarakat terhadap kaum homoseksual, yang sedikit banyak membuat tokoh yang diperankan Tom Hanks itu dianggap sedikit banyak layak untuk menderita penyakit mematikan tersebut.

Dan ternyata mungkin kalimat ini juga yang menginspirasi pembuat film ketika tahun kemarin beredar film berjudul “Adam and Steve”, yang benar, bercerita tentang pasangan gay yang akhirnya menikah.
Di Indonesia, beberapa tahun yang lalu ada kabar di Sulawesi entah kota apa, ada beberapa pasangan lesbian yang hidup bersama dilaporkan oleh warga sekitar ke kantor polisi karena dianggap meresahkan. Dikhawatirkan mereka akan memberikan pengaruh buruk bagi anak-anak di lingkungan tersebut. Mereka memang tidak dihukum, tapi hanya diberi “pengarahan”. Saat itu aku cuma bisa bersyukur, karena kemungkinan terburuknya bisa aja mereka diarak bugil atau dibakar karena dianggap penyakit masyarakat.

Ada kasus juga dimana seorang lesbian dilaporkan melakukan “statutory rape” karena pasangannya adalah seorang perempuan di bawah umur.

Awal tahun ini seorang teman di Aceh mengalami hal yang sangat mengerikan dan traumatis ketika digrebek masyarakat di kamar kost ketika bersama pasangan gay nya. Dia dan pasangannya mengalami penyiksaan, pelecehan seksual dan perendahan martabat dan harga diri yang luar biasa dari polisi setempat. (Selengkapnya bisa dilihat di website nya Arus Pelangi). Saat ini polisi-polisi tersebut konon sudah diproses disiplin di dinasnya. Semoga saja proses pendisiplinan itu tidak mengaburkan akar permasalahannya, yaitu kebencian dan diskriminasi terhadap LGBT, yang dilakukan atas nama penegakan moral dan syariah.

Televisi juga ikut menyebarkan kebencian pada homoseksual. Pernah ada tayangan televisi dengan judul “Azab Homoseksual” menceritakan pasangan gay yang mengalami penyakit mengerikan sebagai akibat dari perilaku seksualnya.

Ada teman yang pernah bilang kalo homoseksual itu menular, jadi kalau kita bergaul dekat dengan orang yang homoseksual lama-lama kita akan jadi homoseksual juga. Mungkin inilah sumber ketakutan masyarakat terhadap homoseksualitas. Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat menceritakan ketakutan temannya (laki-laki) setelah berkenalan dengan seorang openly gay yang secara spontan mau memeluk dan mencium pipi kiri dan kanannya, yang kalau menurut orang itu tindakan biasa saja. Ketakutan tersebut kemudian berlanjut ketika kemudian teman yang gay ini terkesan berniat mengenal lebih jauh.

Di lain pihak, kelompok homoseksual yang biasanya menggabungkan diri dengan sebutan LGBT - terdiri dari kaum Gay, Lesbian, Biseksual dan Transgender (kadang juga disebut transvestite, waria atau riawan), sekarang tambah IQ (Interseks dan Queer) saat ini mulai menunjukkan perjuangan untuk memperoleh pengakuan. Kelompok ini masuk dalam salah satu dari 12 kelompok khusus yang rentan diskriminasi di Komnas HAM. Sudah ada beberapa lembaga yang secara terbuka menyatakan bergerak dalam pendampingan atau pengorganisasian bagi mereka. Sedikit banyak, ini juga yang mempengaruhi semakin banyaknya kaum homoseksual yang menjadi terbuka dengan orientasi seksualnya dan berjuang bersama komunitasnya.

Para pegiat HAM saat ini berusaha melakukan judicial review untuk UU Administrasi Kependudukan yang baru disahkan, yang seharusnya bisa menjadi harapan bagi kaum LGBT untuk mendapatkan pengakuan. Wacana tentang perkawinan sejenis sudah mulai diperkenalkan, meski aku sangat yakin masih akan sangat lama sampai bisa dilegalkan, karena saat ini pernikahan antar agama saja masih diributkan dan nggak selesai setelah diperdebatkan puluhan tahun. Amandemen undang-undang perkawinan juga entah kapan bisa dibahas di DPR. Aktivis juga mengadvokasinya lewat RUU Pencatatan Sipil yang entah kapan selesainya. Kasihan juga, hidup bersama tanpa nikah nggak boleh, nikah juga nggak boleh. Sepertinya sudah banyak pasangan homoseksual yang menikah di luar negeri. Ada juga yang menikah di Indonesia dengan cara yang agak “purba”, hanya menyatakan komitmen satu sama lain dengan disaksikan oleh masyarakat hukum adatnya, teman-teman komunitas sesama homoseksual. Tidak ada perlindungan dan ikatan hukum. Padahal, suatu pernikahan, terlepas dari tercatat, legal atau tidak, merupakan suatu perikatan dalam hukum keluarga yang pasti akan menimbulkan akibat. Akan tetap ada permasalahan harta bersama, akan ada masalah pengasuhan anak (jika kemudian mereka punya anak-banyak pasangan homoseksual terutama di luar negeri yang mengadopsi anak atau ikut program bayi tabung), waris dan wasiat ketika salah satu pihak meninggal dunia... Belum lagi kalau ada permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pasangan. Kasus KDRT ini konon banyak dialami oleh pasangan homoseksual terutama lesbian, akan tetapi tidak ada perlindungan hukumnya. Pun ketika ada seorang lesbian yang mengadukan kekerasan yang dilakukan pasangannya, pihak aparat penegak hukum masih akan dengan perspektif moralnya sendiri menyalahkan si korban kenapa bisa jadi homoseksual.

Aku pernah diajak diskusi oleh beberapa teman yang membuat draf perjanjian “domestic partnership” untuk pasangan homoseksual yang akan menikah, untuk sedikit banyak melindungi para pihak yang mengikatkan diri. Dilematis juga, karena di satu pihak ada asas “kebebasan berkontrak”, di pihak lain ada juga syarat perjanjian adanya “sebab yang halal”, yang sayangnya pernikahan ataupun yang mereka sebut “domestic partnership” tersebut masih merupakan hal yang tidak halal di mata hukum Indonesia. Akhirnya kemungkinan terburuk ya itu hanya akan menjadi seperti hukum adat, keberlakuannya sangat tergantung oleh komitmen para pihaknya dan penegakan hukumnya hanya bisa dilakukan oleh masyarakat hukum adatnya, komunitas nya, yang hanya akan berupa sanksi sosial kepada yang melanggar. Kalau di Philipine seorang temanku yang aktivis lesbian bilang perkawinan homoseksual tidak diperbolehkan akan tetapi mereka bisa mencatatkan “domestic partnership” atau "civil union" di catatan sipil.

Di Indonesia juga sempat beredar film “Detik Terakhir” yang kontroversial dan menuai protes, tapi akhirnya menganugrahkan piala citra bagi Cornelia Agatha, yang berperan sebagai pecandu narkoba yang lesbian. Bersyukur juga film tersebut tidak dicabut dari peredaran seperti BCG, mungkin karena didukung Badan Narkotika Nasional sebagai bagian dari usaha pemberantasan narkoba. Film itu, setahuku adalah film Indonesia pertama yang menampilkan homoseksualitas (lesbian) secara terbuka dengan sudut pandang yang tidak negatif.

Di dunia internasional, bulan Maret lalu di tengah sidang Dewan HAM PBB diadakan peluncuran “The Yogyakarta Principles on Sexual Orientation and Gender Identity” (YP). Disebut begitu karena YP ini adalah hasil dari sebuah high level expert meeting yang diadakan di Yogyakarta tahun kemarin, melibatkan ahli hukum internasional dari berbagai Negara dan pakar soal LGBT. YP ini memuat prinsip-prinsip dasar tentang hak dan pedoman untuk perlindungan HAM berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender, dengan harapan ke depannya YP ini bisa berkembang menjadi suatu deklarasi atau kovenan internasional, atau setidaknya menjadi acuan bagi pembuat kebijakan dalam hal berkaitan dengan LGBT. Ternyata, organizer dari YP ini adalah dua organisasi dimana aku magang saat ini di Geneva, ISHR dan ICJ.

Implementasinya pasti nggak akan mudah, karena sampai saat ini homoseksual memang masih jadi deviant di masyarakat. Anggapan mainstream adalah bahwa manusia defaultnya adalah heteroseksual seperti dicontohkan oleh Adam dan Hawa (Eve), kalau ada yang jadi homoseksual atau biseksual itu adalah penyimpangan. Oleh karena itu masyarakat akan selalu berusaha “menyadarkan” orang-orang tersebut supaya kembali jadi hetero. Misalnya, G - sebut saja begitu, seorang mantan pedila (perempuan yang dilacurkan) di Prumpung menceritakan bahwa ketika orangtuanya tahu ia lesbian, ia dipaksa menikah dengan laki-laki yang belakangan diketahui adalah pelaku kekerasan. KDRT yang dialami itulah yang akhirnya menyebabkan ia kabur ke Jakarta dan menjadi pedila. Sebaliknya, banyak juga laki-laki yang baik dipaksa atau tidak, menikah dengan perempuan sebagai pelarian atas homoseksualitasnya. Dan kembali, perempuan yang menjadi istrinya menjadi korban karena dinikahi hanya untuk status suaminya di masyarakat sebagai seorang heteroseksual, sementara di belakang ia tetap berhubungan dengan sesama jenisnya. Tidak jarang si perempuan ini juga akan menjadi korban kekerasan dari suaminya itu, dan juga akan jadi orang yang disalahkan oleh pihak keluarga jika sampai ketahuan bahwa suaminya masih saja gay meskipun sudah menikah.

Kalau mau bicara HAM, tentu saja setiap orang punya hak untuk punya pasangan hidup, mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri, mencintai dan dicintai termasuk juga untuk menentukan orientasi seksualnya. Tapi untuk konteks masyarakat, selalu aja dibenturkan dengan pendapat bahwa penggunaan HAM nggak bisa mengganggu hak asasi manusia lain, harus selalu sesuai dengan nilai budaya yang berlaku di masyarakat setempat dsb.

Sejujurnya, aku sendiri masih kebingungan dengan segala tentang seksualitas dan orientasi seksual. Aku sendiri pernah mencoba mempertanyakan kehetero-anku setelah membaca artikel tentang ‘lesbian possibility’ dari seorang feminis. Dalam artikel itu disebutkan bahwa pada dasarnya semua orang punya kecenderungan untuk tertarik dengan sesama jenisnya, akan tetapi dengan ideologi patriarki yang menghegemoni maka kemungkinan tersebut dihilangkan, terjadi apa yang disebut sebagai “compulsory heterosexuality”. Manusia, terutama perempuan sejak kecil ditanamkan bahwa hanya ada satu orientasi seksual, yaitu heteroseksual, dan yang menyimpang dari itu adalah dosa, terkutuk, abnormal. Dan maka dari itu, penting untuk mempertanyakan kembali, apakah kita menjadi heteroseksual dengan sadar? Apakah kita menyadari bahwa ada orientasi seksual yang lain?

Banyak teori tentang bagaimana orientasi seksual itu terbentuk, bisa aja karena pengaruh pengalaman hidup, entah trauma karena kondisi keluarga, pengalaman masa lalu yang buruk dengan lawan jenis dsb. Atau ada juga yang diistilahkan sebagai “lesbian ideologis” (atau lesbian feminis?) menjadi lesbian (homoseksual) karena kesadaran dan perlawanan atas patriarki, termasuk compulsory heterosexuality. Bisa juga by nature secara kodrati, nggak ada pengalaman hidup atau alasan ideologis tiba-tiba jatuh cinta atau punya ketertarikan dengan sesama jenis.

Aku, yang sampai saat ini sangat yakin dengan kehetero-anku, setidaknya sampai saat ini masih percaya pada cinta. Hubungan apapun, hetero ataupun homo basisnya musti cinta, dari hati. Itu masalah hati, dan cinta itu kan buta (sebenarnya bukan buta, kalaupun melihat tapi nggak peduli), tuli dan juga bodoh. Dan kalau hati sudah bicara tentu aja nggak akan memandang ideologi, pengalaman hidup, jenis kelamin, rupa, status, SARA. Jadi ya, aku percaya bahwa orientasi seksual ditentukan oleh hati, kodrati dari sononya. Dan itu emang bisa berubah, namanya juga hati. Meskipun mau dipenjara, dikutuk orang sekampung, diarak bugil, dirajam, atau diapakanpun, nggak ada yang bisa merubah hati, kecuali yang hati itu sendiri (yang punya hati aja kadang ngga bisa mengendalikan hatinya, makanya AA Gym sampai buat lagu Jagalah Hati, itu juga mungkin yang membuatnya pada akhirnya nggak bisa menahan diri untuk berpoligami).

Kalau mau bicara religius, Tuhan menciptakan manusia bermacam-macam agar makhluk ciptaanNya saling mengenal. Kalau dia mau, bisa aja dia ciptakan manusia heteroseksual semua. Setiap apa yang dilakukan Tuhan pasti ada maksudnya. Yang pasti Tuhan yang Maha Pengasih tidak akan menjadikan makhluknya homoseksual untuk dianiaya oleh manusia lainnya. Untuk soal agama saja, yang paling mendasar, sudah ada prinsip ‘bagimu agamamu dan bagiku agamaku’. Saatnya mungkin kita populerkan prinsip ‘bagimu orientasi seksualmu dan bagiku orientasi seksualku’ agar jangan saling mengganggu. Biarkan Tuhan menjadi satu-satunya hakim.

"If I could have one wish granted to reverse an injustice, it is for the world to end the persecution of people because of their sexual orientation, which is every bit as unjust as that crime against humanity, apartheid."
~ Desmond Tutu, South Africa ~


(Sebagian tulisan ini sudah ada di komputerku sejak akhir tahun 2005. Thanks buat teman-teman di milis womenlbtindonesia atas diskusinya. Semoga tetap semangat!)

No comments: