Saturday, May 19, 2007

(Another one of) My Best Friends Wedding

Bulan ini, sampai hari ini tiga orang lagi sahabatku mengumumkan untuk mengikatkan dirinya dalam pernikahan. Tentu saja mereka tidak mau menunda pernikahannya sampai aku pulang…

Jadi ingat…beberapa tahun yang lalu ketika ada yang tanya kapan aku berencana untuk menikah, aku dengan PD-nya menjawab 25. Ternyata, sekarang di usia 26 aku belum apa-apa, nggak ada persiapan, bahkan calonnya pun ngga ada. Semakin banyak wawasan dan pemikiran, semakin banyak pertimbangan. Ya itu tadi, pengalaman hasil pekerjaan sehari-hari, teori-teori tentang feminisme kesetaraan dan perjuangan melawan patriarki yang mendarah daging mau tidak mau membuatku jadi lebih banyak pertimbangan dalam mengevaluasi hidupku termasuk hubungan-hubunganku. Jadi ingat juga..dulu waktu aku memutuskan untuk melamar kerja di LSM perempuan, seorang teman (laki-laki) berkata dengan agak sinis “nanti kamu jadi feminis, nggak mau kawin..” (waktu itu aku belum mengerti betul feminis artinya apa jadi tidak bisa menyanggah, hanya senyum-senyum saja). Tidak, saat ini aku berani mengatakan aku tidak anti perkawinan, tidak juga fobia terhadap perkawinan, tapi bahwa saat ini itu masih jadi hal gelap buatku, iya.

Seorang perempuan, entah mengapa sepertinya dianggap nggak lengkap dan kurang beres ketika tetap single ketika mencapai usia tertentu. Ada seorang teman laki-laki yang begitu giatnya berusaha mencarikan “jalan” untuk teman-teman perempuannya yang masih single. Kadang menyebalkan juga jika berhadapan dengan orang-orang (terutama laki-laki) yang menganggap semua perempuan yang single adalah dalam posisi “available” dan “sedang mencari”.

Seorang perempuan, ketika datang sendirian ke suatu acara (terutama pesta pernikahan), dia akan ditanya, “kok sendirian?”, kalau dia datang dengan lawan jenis biasanya pertanyaannya menjadi “kapan menyusul?”. (Padahal ketika sudah menikah pun, ia tetap akan ditanya “kapan mau punya anak?”, kalau anaknya sudah dewasa, “kapan anaknya menikah?”). Saking sebalnya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, seorang sahabatku pernah berikrar, dia tidak akan datang ke pernikahan sebelum ia sendiri menikah, kecuali jika yang menikah adalah sahabat dekatnya.

Seorang teman juga sebut saja F, dengan lantang mengatakan bahwa ia tidak pernah, dan tidak akan pernah datang ke pernikahan. Konon ini disebabkan karena ia meyakini bahwa pernikahan (heteroseksual) adalah institusionalisasi kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga dan poigami adalah contoh yang paling nyata. Ekstrim juga sih…tapi bukankah memang kecenderungannya begitu di masyarakat kita saat ini? Perkawinan bagaikan peti Pandora seperti dalam dongeng yang jika dibuka akan menimbulkan banyak persoalan dan kesusahan, khususnya bagi perempuan, di luar sisi-sisi baiknya tentu saja.

Sejak upacara pernikahan, perempuan ditempatkan sebagai pelayan suami, bisa dilihat dari upacara adat dimana suami akan menginjak telur ayam dan si istri harus membersihkan kakinya (untuk hal ini bahkan temanku yang sudah sangat fasih bicara soal gender masih nggak berkutik ketika diharuskan melakukan ini saat menikah). Kemudian dalam khotbah nikah yang standard, selalu yang diketengahkan adalah konsep “istri soleha”, kewajiban istri untuk selalu menyenangkan dan melayani suami, tidak boleh melawan, menjadi ibu yang baik untuk anak-anak dan sebagainya.

Perempuan yang menikah, mengalami pengaburan identitasnya sebagai pribadi, disebut sebagai istri suaminya, ibu dari anaknya. Filsuf feminis Gadis Arivia sering mengulas masalah ini dalam berbagai forum, bagaimana gigihnya ia memperjuangkan agar perempuan dihargai sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai pelengkap dari makhluk lain, yang biasanya berjenis kelamin laki-laki.

Perempuan, istri karena kondisinya yang dalam budaya patriarki dipandang subordinat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Jumlahnya begitu banyaknya sampai dalam setahun kantorku yang hanya lingkup Jabodetabek saja menerima lebih dari 4oo kasus di tahun 2006. Itu saja bisa dibayangkan, berapa banyak sih orang yang tahu kantorku?

Sahabat-sahabatku yang telah menikah itu, telah mengambil langkah besar dalam hidupnya. Tidak hanya soal pernikahannya, tapi juga apa yang menjadi eksesnya. Misalnya yang paling gampang, seorang sahabatku memilih menemani suaminya untuk berkumpul dengan teman-teman suaminya daripada menemui sahabat-sahabat dekatnya yang sudah lama nggak ketemu (jujur hal ini membuatku patah hati juga). Seorang teman merelakan mimpinya untuk kuliah di luar negeri demi tidak meninggalkan suaminya tercinta. Teman yang lain merelakan suaminya untuk lebih dulu ikut pendidikan karena mereka tidak mampu membayar untuk mereka berdua suami istri. Tiga temanku meninggalkan pekerjaannya yang cukup baik di sebuah lawfirm, perusahaan multinasional dan kantor notaris demi lebih fokus mengurus anak. Temanku yang lain meninggalkan karirnya yang sedang menanjak di Jakarta demi mengikuti suaminya yang bertugas di daerah, dan kemudian menjadi full time housewife.

Seorang perempuan yang sangat kukagumi kecerdasan dan kiprahnya meninggalkan karirnya di kepolisian ketika suaminya naik pangkat, menjadi kepala di suatu unit tertentu. Ternyata hal ini sudah jadi hukum tidak tertulis di kepolisian (dan aku pikir di tentara juga) bahwa jika suami istri bekerja di kepolisian dan suaminya mencapai jabatan tertentu, istrinya diharapkan (diharuskan sebenarnya) mengundurkan diri karena harus menjadi ketua Bhayangkari, organisasi bagi istri-istri polisi di unit yang dipimpin suaminya tersebut. Meskipun mereka begitu lantang menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di berbagai forum, tetap saja mereka tidak berkutik dengan kewajiban tersebut. Tragis.

Minggu lalu aku membaca sebuah artikel tentang Michelle Obama, istri Barack Obama yang semoga saja bisa jadi Presiden kulit hitam pertama di AS. Seorang wanita yang cerdas, termasuk satu diantara sangat jarang perempuan kulit hitam yang bisa kuliah di Princeton University, punya karir yang sangat baik. Tapi jika nantinya ia akan jadi ibu Negara, tentunya dia diharapkan melepaskan semua itu, dan memulai aktivitas seperti ibu ketua darma wanita pada umumnya. Hal ini menjadi dilema untuknya karena semenjak dewasa dia tidak pernah menganggur. Dia mengakui bahwa sejak dia melahirkan anak pertamanya beberapa tahun yang lalu, ia telah mengalami perdebatan dalam dirinya, mempertanyakan apakah ia menjadi orangtua yang baik bagi anaknya, apakah dia harus berdiam di rumah, apakah dia dapat bertahan berdiam di rumah,bagaimana menyeimbangkan antara karir dan keluarga dan sebagainya. Apalagi nanti jika ia menjadi ibu negara, dimana dia akan dibebani dengan berbagai peran seremonial sebagai pendamping sang kepala negara. Padahal, ketika Indonesia punya Presiden perempuan, tidak ada yang mewajibkan suaminya untuk menghentikan aktivitasnya untuk mendampingi ibu Presiden kemana-mana.

Mereka, perempuan-perempuan yang cerdas dan potensial menenggelamkan dirinya menjadi sekedar Nyonya B (nama suaminya) dan mamanya C. Tapi tentu saja, itu pilihan mereka. Aku tidak bisa menjudge mereka sebagai orang yang tertindas, karena mungkin saja mereka dengan sangat sadar, ikhlas mengambil pilihan tersebut. Akan tetapi, apakah mereka sempat berpikir bahwa mereka punya pilihan? Apakah suaminya memberikan pilihan? Apakah hal-hal tersebut sudah mereka bicarakan sebelum mereka memutuskan untuk membina rumah tangga? Apakah dalam memutuskan hal tersebut mereka dalam kondisi yang setara dengan suaminya? Pun, jika suami mereka memberikan pilihan, apakah keluarga dan masyarakat mendukung pilihan mereka tersebut? Kenyataannya memang masyarakat masih sangat patriarkis, dan itu juga yang membuat masih banyak perempuan yang tak berdaya melawan.

Kesetaraan dalam rumah tangga sepertinya masih jadi mimpi untuk banyak perempuan. Perempuan yang memilih untuk bekerja, baik sebagai ekspresi dirinya maupun kerena tuntutan ekonomi keluarga (defaultnya tetap suami yang bekerja sebagai pencari nafkah utama) masih harus mengalami beban ganda. Tanggungjawab terhadap kelangsungan rumah tangga dan anak-anak tetap ditimpakan pada istri. Suami selingkuh, poligami, atau melakukan kekerasan istrinya juga yang disalahkan “kamu sih kerja terus, suamimu kan merasa diabaikan”, “kamu sih terlalu sibuk nggak ngurus diri sendiri sampai suamimu berpaling” (kalau yang ini aku ingat sekali pernah dikatakan oleh seorang jaksa perempuan yang menangani salah satu kasus KDRT yang aku dampingi). Begitu juga kalau sampai ada apa-apa dengan anaknya, nilai raportnya jelek, ketahuan menggunakan narkoba dan sebagainya, ibunya juga yang akan disalahkan. Hal ini juga dilanggengkan lewat berbagai media, dimana soal mendidik anak masih masuk dalam segmen “perempuan”. Padahal, tanggungjawab itu seharusnya dipikul bersama, menikah nya juga sama-sama, menghasilkan anak juga sama-sama.

Yang harus dicerahkan memang bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki dan seluruh masyarakat.

Aku pernah terlibat pembicaraan dengan seorang teman yang memiliki ide membentuk “wedding organizer berperspektif gender” yang sudah pernah beberapa kali dipraktekkan. Hal ini berawal dari kegeraman menyaksikan ritual perkawinan yang sangat konservatif, patriarkis dengan segala dogma klasik tentang peran suami istri. Ide yang sangat bagus menurutku. Misalnya, dari undangan dan sebagainya mulai diperkenalkan ayat-ayat tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, yang juga dengan konsisten kemudian dikuatkan ketika ceramah perkawinan dan segala aspek dari acara tersebut. Memang bukan solusi, tapi sebagai salah satu dari banyak jalan. Menarik juga mendengar bahwa ada pejabat KUA yang ketika menikahkan memberitahukan bahwa sekarang sudah ada UU PKDRT sehingga tidak boleh ada lagi kekerasan dalam rumah tangga. Tapi masalahnya memang masih sangat panjang perjalanan untuk membuat masyarakat mengerti bahwa kekerasan itu bukan cuma yang bersifat fisik, tapi juga seksual, psikis dan ekonomi.

No comments: