Wednesday, June 20, 2007

Hanya Satu Kata: Lawan!

Saat pertama kali mendengar orang meneriakkan kalimat itu di tengah demonstrasi awal-awal masa kuliah tahun 1999, aku belum pernah mendengar tentang orang ini yang pertama kali mempopulerkannya. Wiji Thukul, yang sampai saat ini masih tidak ada yang tahu kemana ia dihilangkan untuk dibungkam, semoga dia tahu begitu banyak orang yang sudah terinspirasi oleh sajak-sajaknya. Serius saat ini kuberdoa untuknya, dan sesungguhnya di dunia ini tidak ada perjuangan yang sia-sia.

Peringatan (1987)

Jika rakyat pergi
Kita penguasa berpidato
Kita harus hati hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata : lawan !


Ada sebagian sajaknya yang benar-benar begitu dahsyatnya membuatku terinspirasi ketika aku menemukannya di halaman muka situs www.toleransi.com :

apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli
apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata berdiri gagah kongkalikong dengan kaum cukong

sajakku adalah kebisuan yang sudah kuhancurkan
sehingga aku bisa mengucapkan dan engkau mendengarkan
sajakku melawan kebisuan


Baru-baru ini aku mendapatkan buku “Kebenaran Akan Terus Hidup” (kumpulan tulisan tentang Wiji Thukul) terbitan YAPPIKA dan IKOHI, dan juga kumpulan puisinya “Aku Ingin Jadi Peluru”. Sangat menginspirasi dan memberi semangat!

4 comments:

Anonymous said...

Saya tidak kenal siapa Widji Thukul pada saat dia masih ada ( bukan berarti secara fisik sekarang dia "tidak ada"... tapi sebagai orang yang mengalami sendiri kerasnya situasi saat itu saya tidak dapat berharap banyak akan keberadaan dia saat ini ) .Yang jelas dia sekarang ada didalam setiap hati orang yang anti dengan ketidak adilan, penindasan dan kesewenang-wenangan.
Saya sendiripun sebenarnya bukan tipe demonstran radikal dalam artian sebenarnya, lebih sering saya hanya ikut-ikutan sekedar gagah-gagahan disamping meski jujur saya akui saya juga pengecut. Pengalaman mengajarkan saya untuk menjadi pengecut, saat majalah kampus dimana saya menjadi salah satu redaksinya memuat tulisan tentang bisnis militer yang mau tidak mau akhirnya merembet ke soal bisnis ilegal ABRI maka mulai saat itu pulalah hidup menjadi suatu teror bahkan untuk saya yang tidak menulis satu hurufpun karena saya cuma kartunis. Tapi itulah orde baru semua arang bisa masuk dalam daftar... saya jadi pengecut bukan saja karena keselamatan diri saya saja yang terancam.. namun entah bagaimana caranya mereka bisa tahu darimana saya, dimana saya tinggal, siapa orang tua saya dan apa pekerjaan mereka, dan saya jadi pengecut dalam salah satu sesi introgasi muncul ancaman yang sialnya karena memang kedua orang tua saya adalah PNS... yaitu bukan perkara sulit untuk "merumahkan" mereka sesegera mungkin.
Apakah jadi pengecut itu salah ? dalam kasus saya, saya berhak berapologi, saya tidak seberani dan setegar Widji Thukul yang dalam salah satu tulisannya dengan lantang berteriak " ...jika engkau tembok, maka kami adalah bunga. Suatu saat kami akan tumbuh berkembang dan akar kami akan menghancurkan tembok..."
Saya memang pengecut dan tentu saja tidak punya keberanian... saya pernah suatu ketika berjanji untuk tidak "neko-neko" dan duduk manis saja, melihat... mendengar... tapi tetap diam saja. Tapi kesabaran memang ada batasnya... kesabaran itu pecah ketika saya melihat bagaimana kekerasan oleh militer ditunjukkan dengan jelas sejelas-jelasnya tepat didepan mata saya, bagaimana kekuatan yang tidak seimbang itu, bagaimana kawan-kawan saya laki-perempuan semburat lari ketika mereka polisi dan tentara menyerbu masuk ke dalam kampus kami yang seharusnya aman dan netral.
Saya tak punya pilihan karena bahkan seandainya saya tetap berdiri diampun mereka akan tetap sampai pada saya dan tetap meremuk saya seakan-akan sayalah yang tadi berorasi di depan mereka, sekejap kepengecutan saya terbang dan saya meraih apapun yang dapat saya raih... batu, kayu.. apapun untuk membela diri dan bukan untuk menyerang meski saya tahu jika saya tertangkap maka tuduhannya yang paling ringan adalah menyerang aparat negara dan yang terberat adalah makar !!!
Kemudian karena semuanya terjadi begitu cepat... saya cuma ingat sepintas-sepintas bayangan orang-orang, teriakan-teriakan dan entah bagaimana ceritanya tahu-tahu banyak orang yang tadi ada didalam rombongan demonstran di dalam kampus tiba-tiba juga ikut menyerang kami, saat lari dari mereka tahu-tahu seseorang berbaju coklat mungkin Brimob menghantamkan sesuatu ke muka saya dan setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi.
Tidak ada pertolongan, tidak ada ambulan bahkan tidak ada tenaga medis karena saya sadar sendiri, terbangun meski belum begitu sadar sepenuhnya saya melihat bekas-bekas kekejaman yang telah terjadi. Sempoyongan saya berjalan sendiri ke kos-kosan, setelah itu suasana seluruh kampus sepi, banyak teman yang mengungsi atau pulang ke daerah masing-masing. Tapi yang paling tragis dari semua itu adalah pada keesokan harinya tak ada.. sekali lagi tak ada satu kolompun berita di koran baik lokal maupun regional yang menulis tentang tragedi yang telah terjadi sehari sebelumnya. Luar biasa...
Saya bukan Widji Thukul dan tidak akan mampu seperti dia. Dia adalah pahlawan yang berhak fotonya dipasang di sekolah-sekolah berjajar bersama Teuku Umar, Cut Nya Dien, Supriyadi ( meskipun kita semua tahu dia jelas tidak mau hal yang simbolis semacam itu terjadi ). Setidaknya saya cukup lega mendengar namanya diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Jogjakarta, sekali lagi itu mungkin cuma simbolis tapi setidaknya banyak orang akan mengingatnya dan generasi muda kelak mengenal juga namanya. Saya pribadi seandainya punya satu saja foto Wijdi Thukul pasti akan saya cetak ke kaos dan memakainya bergantian dengan kaos Che Guevara yang sudah ada lebih dulu.
Salam buatmu mas Widji Thukul dimanapun anda berada. Dimanapun dan kapanpun terjadi ketidak adilan, penindasan, kesewenang-wenangan... akan selalu terdengar semangatmu ... "Hanya ada satu kata.. Lawan !!!"

Anonymous said...

wiji tukul, munir, udin bernas... mau berapa banyak lagi putra bangsa ini dikorbankan hanya untuk kepentingan sesaat. kepentingan yang tidak akan dibawa mati. rakyat dibuat semakin bodoh, pers dibungkam. ketika pers dibuka, kebebasan yang kebablasan yang terjadi. saat ini generasi muda tahun 2007 adalah generasi muda sampah, generasi muda sinetron, generasi muda mall, generasi hedonisme, selamatkan generasi muda indonesia sekarang...

alumni STAN said...

hanya satu kata..... blog yang bagus... (3 kata dink)

Anonymous said...

ketika ketidakadilan bagi rakyat
ketika penguasa sewenang-wenang
ketika itulah kemarahan
ketika itulah perlawanan

smoga dimanapun widji thukul berada, ia selalu dalam lindungan tuhan.