Monday, February 06, 2006

Officium Nobile?

Sabtu 4 Februari 2006. Stadion Tenis Indoor Senayan. Ada lebih dari 2700 orang mengikuti ujian profesi untuk menjadi advokat, termasuk aku. Tesnya sendiri biasa aja meski ngga berarti gampang. Tapi menyenangkan juga bertemu dengan banyak teman, sesama pekerja LSM, teman kuliah, teman pendidikan advokat. Bayangkan how wonderful life would be kalau semua orang ini lulus jadi advokat kemudian jadi advokat yang memberikan bantuan hukum pro bono. Ternyata peserta juga berasal dari berbagai kalangan. Ada banyak orang yang sudah cukup berumur dan sudah tahunan berpraktek meski belum punya kartu, ada yang sebenarnya saat ini kerjaannya nggak menangani kasus seperti pegawai bank, peneliti, dosen, sekretaris, pekerja LSM. Mungkin profesi advokat masih dianggap sebagai investasi masa depan yang cukup prospektif.

Di soal testnya, ada dua pertanyaan dengan fokus yang sama, tentang sebutan advokat sebagai officium nobile atau profesi mulia. Saat ini aku bisa bilang, itu kan dulu..ketika awalnya profesi ini ada dimana bangsawan terpelajar di Inggris memberikan bantuan hukum pada orang-orang miskin dn buta hukum ketika diadili oleh raja.

Kalau sekarang…setelah profesi ini jadi lahan mencari uang dimana kantor-kantor advokat menetapkan fee tinggi sesuai dengan jam terbang, ketika pemberian bantuan hukum Cuma-Cuma hanya dijalankan sekedar menggugurkan kewajiban atau mencari popularitas, ketika advokat berlomba-lomba membuat show di media massa mempublikasikan dirinya ataupun kasus yang ditanganinya (termasuk dalam buku “11 Profil Lawyer Ibu Kota” yang kulihat beberapa hari yang lalu di sebuah toko buku besar di Depok, yang termasuk membeberkan kasus-kasus sukses yang ditangani, serta alamat kontak tak ubahnya seperti katalog belanjaan).

Dan juga, ketika untuk menjadi advokat demikian susahnya dan mahalnya, selain harus sarjana bidang hukum (secara kita tahu pendidikan bermutu demikian mahalnya, UI saja yang jelas PTN dan masuknya harus dari SPMB yang demikian sulitnya, mematok biaya 10 juta untuk mahasiswa baru fakultas hukum), harus mengikuti pendidikan advokat seharga Rp.3-5 juta, dan biaya ujian Rp.700 ribu. Belum lagi untuk yang niat dan minat, mengikuti bimbingan untuk ujian dengan biaya dari Rp.50 ribu-750 ribu. Aku harus bersyukur karena saat masuk kuliah biayanya masih Rp. 1,5 juta dan untuk semesteran dapat beasiswa, dapat kesempatan ikut pendidikan advokat khusus pekerja bantuan hukum yang tanpa biaya, ujian juga dibayari kantor (funding maksudnya). Tapi jika ditelaah, bagaimanakah akses dari masyarakat miskin untuk masuk dalam profesi ini? Lebih jauh lagi, bagaimanakah bisa diharapkan advokat baru yang telah keluarkan biaya berjuta-juta itu dapat memberikan bantuan hukum pro bono, atau setidaknya berpihak pada rakyat yang miskin dan tertindas? Apakah mereka tidak akan menjadi sekedar money maker billing machine di kantornya masing-masing supaya mencapai break even point dan membuat segalanya worth it?

Lalu, dengan banyaknya kasus pelanggaran etika profesi (jarang yang dilaporkan tentu saja kecuali ada yang dirugikan secara langsung, selain itu di Dewan Kehormatan juga akan dimintakan biaya proses, nggak mengikat sih tapi DK juga mengaku nggak punya banyak dana). Penyuapan dilakukan dimana-mana, baik terang-terangan maupun tersamar. Penipuan dan pemalsuan (bahkan saat ujian pun, ada seorang bapak disampingku yang bawa contekan. Aku memang ngga melaporkannya. Saat itu aku memikirkan, bapak ini mungkin punya keluarga, dan entah apa yang akan terjadi jika ketahuan. Tapi ya, nggak tahu kalau panitia menyadari apa ngga. Mirisnya, bagaimana bisa jadi penegak kebenaran kalau untuk ujian saja sudah nggak jujur?)

Jadi, masihkah layak advokat dianggap sebagai profesi mulia?

Buatku, semua pekerjaan yang layak dan halal punya potensi untuk menjadi profesi yang mulia. Tergantung niat dan bagaimana menjalani profesi tersebut. Ibuku sejak kecil mendorongku untuk jadi guru karena menurutnya itu adalah pekerjaan yang mulia. Argumenku, tergantung apa niatnya menjadi guru, apa memang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tujuan di konstitusi, ataukah sekedar jadi PNS dan dapat segala macam tunjangan tanpa takut dilikuidasi atau PHK seperti kalau kerja di swasta. Tukang sapu jalan juga bisa jadi profesi yang mulia jika tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat atau untuk menghidupi keluarganya dengan halal meskipun pas-pasan.

Seperti juga advokat, dikembalikan pada masing-masing person untuk menentukan apakah ia akan menjadikannya profesi mulia atau justru profesi yang hina di mata Tuhan, meski kaya raya di dunia.

No comments: